MAKALH LENGKAP USHUL FIQIH- AMAR DAN NAHI- ‘AM DAN KHAS - MUTLAQ DAN MUQAYYAD - MANTUQ DAN MAFHUM - MUJMAL DAN MUBAYYAN - MURADIF DAN MUSYTARAK - NASIKH DAN MANSUKH
USHUL
FIQIH
Memahami kaidah-kaidah ushul fiqih
Menjelaskan macam-macam kaidah Ushul
Fiqih dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
TANBIH
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278)
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S al Baqoroh
/2:278-279)
IFTITAH
Seorang mujtahid harus memahami nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbagai bentuk ungkapan hukum di dalamnya harus
dikuasainya. Untuk itu ia dituntut untuk menguasai gramatika bahasa Arab dan
semestinya memahami maqasid syariahnya (tujuan-tujuan syariah).
Dengan demikian dia dapat menentukan
hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak terdapat dalam nash adalah
perintah dan larangan ( َاْلاَمْرُوَالنَّهِي )
tetapi dalam konteks kalimat tertentu bentuk itu tidak selalu berarti berlaku
hukum halal dan haram. Maka disinilah pentingnya kita memahami materi amar dan
Nahi.
Dalam kehidupan sehari-hari
terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum / ‘am, tidak terikat /
mutlaq, dan global / muradif. Tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah
jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata-kata itu dalam ilmu ushul fiqih
disebut khash, muqayyad, dan musytarak. Kita perlu mempelajari lebih cermat
agar dapat menentukan dengan tepat kata-kata tersebut. Begitu juga kita sering
menemui ungkapan-ungkapan yang dapat kita pahami secara tersurat dan tersirat.
Yang tersirat inilah yang membutuhkan kecerdasan emosional untuk memahami
secara benar. Dalam ilmu ushul fiqih inilah yang disebut mantuq dan mafhum.
Di akhir materi, kita akan belajar
tentang nasikh dan mansukh. Untuk lebih memahami semuanya, simaklah dengan
sekasama materi berikut ini.
- AMAR DAN NAHI ( َاْلاَمْرُوَالنَّهِي )
1. AMAR ( َاْلاَمْرُ )
a.
Pengertian Amar ( َاْلاَمْرُ )
Amar menurut bahasa berarti
perintah, sedangkan menurut istilah :
الاَمْرُ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ
الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Amar adalah perkataan meminta kerja
dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah.”
b.
Bentuk-Bentuk Amar dan Contohnya
Bentuk-bentuk tersebut adalah
sebagai berikut :
1)
Fi’il Amar
Contoh :
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS Al-Baqarah/2
: 43)
2) Fi’il Mudhari’ yang didahului
dengan huruf lam amar :
Contoh :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah diantara kamu yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar.…” (QS : Ali Imron /3: 104)
3) Isim Fi’il Amar
Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu Telah mendapat petunjuk… (Q.S. Maidah /5:105)
4)
Isim Masdar pengganti fi’il
misal kata : إِحْسَانًا
= berbuat baiklah
Contoh :
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“Dan kepada kedua orang tuamu
berbuat baiklah.” (QS Al-Baqarah/2 : 83)
5) Kalimat Berita (Kalam Khabar)
bermakna Insya
Contoh :
يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
“Hendaklah menahan dirinya.” (QS
Al-Baqarah/2 : 228)
6) Fi’il madhi atau mudhori’ yang
mengandung arti perintah
أَمَرَ، فَرَض، كَتَبَ ،وَجَبَ
Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum
kamu, agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah/2 : 183)
c.
Kaidah-Kaidah Amar dan Maknanya
1)
Kaidah pertama: Pada asasnya perintah menunjukkan wajib
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Pada dasarnya perintah itu
menunjukkan wajib.”
إلاَّ ما دَلَّ دَلِيْلٌ على
خِلاَفِهِ
Kecuali jika ada qarinah yang dapat
mengalihkan lafadz Amar itu dari arti wajib kepada arti yang lain, maka
hendaklah dialihkan kepada arti lain sesuai yang dikehendaki oleh qarinah
tersebut, antara lain sebagai berikut :
a)
Nadb اَلنَّدَب artinya sunah atau anjuran
Contoh :
وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ
مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا
“Maka hendaklah kamu buat perjanjian
mukatabah dengan mereka bila kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS
an-Nur/24 : 33)
b)
Irsyad اَلاِْرْشَادُ artinya membimbing atau memberi petunjuk
Contoh :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ…
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu berhutang sampai masa yang ditetapkan, hendaklah kamu menulisnya.”
(QS-Al-Baqarah/2 : 282)
c)
Do’a (الدعاء)
artinya permohonan
Contoh :
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Tuhan kami, Berilah kami
kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat.” (QS Al-Baqarah/2 : 201)
d)
Ibahah (الاباحة) artinya membolehkan
Contoh :
… وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا…
“Makan dan minumlah kamu …” (QS
Al-Baqarah/2 : 187)
e)
Tahdid (التهديد) artinya mengecam
Contoh :
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Kerjakanlah sekehendakmu” (QS.
Fushilat/41 : 40)
f)
Ta’jiz (التعجيز) artinya melemahkan
Contoh :
…فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ …
“Buatlah satu surat (saja) yang
semisal dengan al-Qur’an itu.” (QS Al-Baqarah/2 : 23)
g)
Ikram (الاكرام ) artinya menghormat
Contoh :
ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ
“Masuklah ke dalamnya (syurga)
dengan sejahtera dan aman” (QS AL-Hijr /15: 46)
h)
Tafwidl ( التفويض ) artinya menyerah
Contoh :
ÇÙø%$$sù !$tB |MRr& CÚ$s%
“Putuskanlah apa yang hendak kamu
putuskan.” (QS Thaha/20 : 72 )
i)
Talhif ( التلهيف) artinya menyesal
Contoh :
(#qè?qãB
öNä3ÏàøtóÎ/ 3
“Katakanlah (kepada mereka)! Matilah
kamu karena kemarahanmu itu” (QS Ali Imran/3 : 119)
j)
Takhyir (التخيير) artinya memilih
Contoh :
مَنْ شَاءَ فَلْيَبْخَلْ وَ مَنْ
شَاءَ فَليَجِدْ كَفَانِى نَذَاكُمْ عَنْ جَمِيْعِ الخِطَابِ
“Barang siapa kikir, kikirlah, siapa
mau bermurah hati, perbuatlah. Pemberian Tuhan mencukupi kebutuhan saya.”
(Syair Bukhaturi kepada raja)
k)
Taswiyah (التسوية) artinya persamaan
Contoh :
اُدْخُلُوْهَا فَاصْبِرُوا اَوْ لاَ
تَصْبِرُوا
“Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh
kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu sama saja bagimu.” (QS Thaha/20 :
16)
2)
Kaidah Kedua : Perulangan dalam Suruhan
a)
Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى
التِكْرَار
“Pada dasarnya perintah itu tidak
menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”
Misalnya :
(#qJÏ?r&ur
¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬!
“Dan sempurnakanlah ibadah Haji dan
Umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)
Perintah haji dan Umrah tidak wajib
dikerjakan berulang kali, tetapi cukup sekali saja, karena suruhan itu hanya
menuntut kita untuk melaksanakannya.
b)
Amar (perintah) itu menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ يَقْتَضِى
التِكْرَار مُدَّةَ العُمْرِ مَعَ الاِمْكَانِ
“Pada dasarnya perintah itu
menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada
kesanggupan selama hidup.”
Misalnya :
bÎ)ur
öNçGZä. $Y6ãZã_ (#rã£g©Û$$sù 4
“Jika kamu berjunub maka
mandilah.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
ٲOÏ%r no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î!
ħôJ¤±9$#
“Kerjakanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir” (QS Al-Isra’ /17: 78)
3)
Kaidah Ketiga
الاَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ
بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu
berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara.”
Misalnya, perintah mendirikan shalat
berarti perintah untuk berwudhu, karena wudhu merupakan salah satu syarat
sahnya shalat.
4)
Kaidah Keempat
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى
الفَوْرَ
“Pada dasarnya perintah (Amar) itu
tidak menuntut dilaksanakan segera.”
Misalnya :
`yJsù c%x.
Nä3ZÏB $³ÒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé&
“Barang siapa diantara kamu ada yang
sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadha puasa itu pada hari
yang lain.” (QS Al-Baqarah/2 : 184)
Puasa Ramadhan yang ditinggalkan itu
boleh ditunda mengerjakannya, asal tidak melalaikan pekerjaan itu dan sebelum
masuk Ramadhan berikutnya.
5)
Kaidah Kelima
الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعِيْدُ
الابَاحَةِ
“Perintah sesudah larangan
menunjukkan kebolehan.”
Misalnya :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَاررَةِ
القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا
“Dahulu aku melarang kamu menziarahi
kubur, sekarang berziarahlah.” (HR Muslim)
#sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù
“Dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS Al-Maidah/5 : 2)
Berdasarkan dua uraian tersebut,
dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya mubah tidak
wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah ibadah haji.
2. NAHI ( النَّهِي )
a.
Pengertian Nahi (larangan)
Bahasa: mencegah atau melarang.
Istilah :
النَهْيُ هُوَ طَلَبُ التَّرْكِ مِنَ
الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Larangan ialah tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih
rendah tingkatannya.”
b.
Bentuk-Bentuk Nahi dan Contohnya
1)
Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiyah” / lam nahi = janganlah
Ÿwur(#þqè=ä.ù‘s? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/
È@ÏÜ»t6ø9$$Î/
“Dan jangan engkau memakan harta
saudaramu dengan cara batil.” (QS Al-Baqarah/2 : 188)
Ÿw(#r߉šøÿè? ’Îû ÇÚö‘F{$#
“Janganlah engkau berbuat kerusakan
di muka bumi.” (QS Al-Baqarah/2 : 11)
2) Lafadz-lafadz lain yang
memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan / suatu
larangan.
Misalnya :
حَرَّمَ، اِحْذَرْ، اُتْرُكْ، نَهَى،
دَعْ، ذَرْ
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã
öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur
“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu.” (Qs
An-Nisa’ /4: 23)
4sS÷Ztur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìx6YßJø9$#ur
Ðan dilarang dari perbuatan keji dan
mungkar.” (QS An-Nahl/16 :90)
c.
Kaidah-Kaidah Nahi dan Maknanya
1)
Kaidah Pertama
الاَصْلُ فِى النَهْيِ لِلتَحْرِيْمِ
“Pada dasarnya larangan itu
menunjukkan haram.”
Misalnya :
wur
(#qç/tø)s? #oTÌh9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$yur WxÎ6y
“Dan janganlah kau mendekati zina,
karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan.”
(QS Al-Isra’/4 : 32)
Kecuali ada petunjuk lain yang
memalingkan dari arti haram ke arti lain,misalnya:
a)
Karahah الكراهة
Misalnya :
وَ لاَ تَصُلُّوا فِى اَعْطَانِ الاِبِلِ
“Janganlah mengerjakan shalat di
tempat peristirahatan unta.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)
Larangan dalam hadits ini tidak
menunjukkan haram, tetapi hanya makruh saja, karena tempatnya kurang bersih dan
dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’ sebab terganggu oleh unta.
b)
Do’aالدعاء
Misalnya :
$oY/u w
ùøÌè? $oYt/qè=è% y÷èt/ øÎ) $oYoK÷yyd
“Ya Tuhan Kami, Janganlah Engkau
jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk
kepada kami.” QS Ali Imran /3: 8)
c) Irsyad
الارشاد artinya bimbingan atau petunjuk
Misalnya :
$pkr’¯»t
úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$uô©r& bÎ) yö6è? öNä3s9
öNä.÷sÝ¡n@
“Hai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan memberatkan
kamu.” (Qs Al-Maidah/5 : 101)
Larangan di atas hanya merupakan
pelajaran, agar jangan menanyakan sesuatu yang akan memberatkan diri kita
sendiri.
d)
Tahqir التحقير meremehkan atau menghina
Misalnya :
Ÿw ¨b£‰ßJs? y7ø‹t^ø‹tã 4’n<Î) $tB
$uZ÷èGtB ÿ¾ÏmÎ/ $[_ºurø—r& óOßg÷YÏiB
“Dan janganlah sekali-kali kamu
menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada
beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir)” (QS Al-Hijr/15 : 88)
e)
Tay’is التيئس artinya putus asa
Misalnya :
لاَ تَعْتَذِرُ اليَوْمَ
“Dan janganlah engkau membela diri
pada hari ini (hari kiamat)” (QS At-Tahrim /66: 7)
f)
Tahdid ( التّهديد )artinya ancaman
Misalnya :
لاَ تُطِعْ اَمْرِى
“Tak usah engkau turuti perintah
kami”
g)
I’tinas ( الإئتاس )artinya menghibur
Misalnya :
w ÷btøtrB
cÎ) ©!$# $oYyètB (
“Janganlah engkau bersedih, karena
sesungguhnya Allah SWTbersama kita.” (QS At-Taubah/9 : 40)
2)
Kaidah Kedua
الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ
يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ
“Pada dasarnya larangan mutlaq itu
menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”
Apabila larangan itu tidak dikaitkan
dengan batasan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti disuruh untuk
meninggalkan selamanya, tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu, maka
larangan itu berlaku bila ada sebab saja.
Misalnya :
w (#qç/tø)s?
no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3t»s3ß
“Janganlah kamu sholat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk.” (QS an-Nisa’ /4: 43)
3)
Kaidah Ketiga
النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ
“Melarang dari sesuatu itu berarti
memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
Misalnya :
wur Ä·ôJs? Îû
ÇÚöF{$# $·mttB
“Dan janganlah kamu berjalan di muka
bumi dengan berlagak sombong.” (QS Luqman/31 : 18)
Larangan tersebut di atas memberikan
pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan dengan sikap sopan.
4)
Kaidah Keempat
النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ
المُنْهِىِّ عَنْهُ
“Pada dasarnya larangan itu
menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”
Misalnya :
Larangan shalat dan puasa bagi
wanita yang haid dan nifas. Jual beli binatang yang masih dalam kandungan. Hal
ini tidak sah dan dilarang oleh syara’.
- ‘AM DAN KHAS ( العَامُ وَ الخَاصً)
1. ‘AM ( العَامُ)
a.
Pengertian ‘Am
Al ‘Am (العَامُ
) secara bahasa berarti umum,
merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
Misalnya, lafadz al insan ( الانسان )
artinya seluruh manusia.
b.
Lafadz-Lafadz ‘am dan contohnya
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk
memberi faedah ‘am antara lain :
1)
Lafadz kullun dan jami’un, kaffah, ma’syar (seluruhnya)
Contoh :
كُلُّ رَاعٍ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
“Setiap pemimpin (pemelihara) akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (pemeliharaanya)” (HR
Bukhari-Muslim)
uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû
ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_
“Dialah yang menjadikan segala apa
yang ada di bumi untuk kamu” (QS Al-Baqarah/2 : 29)
2)
Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyyah.
¨@ymr&ur
ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Dan Allah SWTmenghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah/2 : 275)
Lafadz al bai’a (jual beli) dan ar
riba (riba) keduanya disebut lafadz ‘am, karena isim mufrad yang dita’rifkan
dengan “al jinsiyyah”.
bÎ)ur (#r‘‰ãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw
!$ydqÝÁøtéB 3
“Dan jika kamu menghitung nikmat
Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS Ibrahim/14 : 34)
!$tBur y7»oYù=y™ö‘r& wÎ)
Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ƒÉ‹tRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ
3)
Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan alif lam.
Contoh :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/utItƒ
£`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
“ Wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' “
4) Lafadz mufrad dan jam’ yang
dita’rifkan dengan idhafah
Contoh dengan idhafah :
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû
öNà2ω»s9÷rr&
“Allah SWTmensyari’atkan bagimu
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu.” (QS An-Nisa’/4 : 11)
Lafadz aulad adalah lafadz jama’
yang diidhafahkan dengan lafadz kum sehingga menjadi ma’rifat. Oleh karena itu
lafadz tersebut dikategorikan lafadz ‘am.
5)
Isim-isim mausul seperti al ladzi, al ladzina, al lati, al la’i .
( الذي، الذين،
التي، اللأ تي، الللأ ئي، اولائ )
Misalnya :
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFã öNä3ZÏB
tbrâxtur %[`ºurør& z`óÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkôr&
#Zô³tãur
“Dan orang-orang yang meninggal
dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri
itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah/2 : 234)
6) Isim-isim syarat, seperti man
(barang siapa), maa ( apa saja), ayyumaa (yang mana saja).
( من، ما،
اي، ايما )
a)
|
مَنْ= barang
siapa
|
|
`tB ö@yJ÷ètƒ #[äþqß™ t“øgä† ¾ÏmÎ/ Ÿwur ô‰Ågs† ¼çms9 `ÏB Èbrߊ
«!$# $wŠÏ9ur Ÿwur #ZÅÁtR
"Barangsiapa
yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan
itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain
dari Allah.” (QS An-Nisa/4 : 123)
|
b)
|
مَا
= apa saja
|
|
$tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9öyz öNà6Å¡àÿRL|sù 4
“Dan apa
saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu
untuk kamu sendiri.”
(QS Al-Baqarah/2 : 272)
|
c)
|
اَيُّ
= siapa saja
|
|
$wr& $¨B (#qããôs?
ã&s#sù âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$#
"Serulah
Allah SWTatau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai Asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).”
(QS Al-Isra’ /17: 110)
|
Contoh :
اَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ
زَوْجَهَا الطَلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَمَ عَلَيْهَا رِيْحَةُ
الجَنَّةِ
“Siapa saja perempuan yang meminta
ditalaq kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya harum-haruman syurga.”
(HR Ahmad)
7) Isim Nakirah yang terletak
sesudah nafi’.
Misalnya :
مَا رَأَيْتُ رَجُلاً
“Aku tidak melihat seorangpun.”
(#qà)¨?$#ur
$YBöqtƒ w “Ì“øgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«ø‹x©
“Jagalah dirimu dari (adzab) hari
(kiamat), yang pada hari itu, seorangpun tidak dapat membela orang lain, walau
sedikitpun.” (QS Al-Baqarah/2 : 48)
Kalimat “nafsun” = seorangpun, yang
jatuh sesudah nafi’ (laa = tidak) yakni tidak tertentu, dan ditunjukkan kepada
semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
8)
Isim Istifham, ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana) dan mata
(kapan). Misalnya :
a). من= siapa
`¨B #s Ï%©!$#
ÞÚÌø)ã ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym
“Siapakah yang mau berpiutang kepada
Allah SWTdengan piutang yang baik?” (QS Al-Baqarah/2 : 245)
b). مَا = apa
$tB óOä3x6n=y
Îû ts)y
“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS
Al-Mudatsir/74 : 42)
c). اَيُ= yang mana
öNä3r& ÓÍ_Ï?ù't $pkÅöyèÎ/
@ö6s% br& ÎTqè?ù't úüÏJÎ=ó¡ãB
“Siapakah diantara kamu yang bisa
membawa kursi tahta kerajaan (Bulqis) di hadapanku sebelum mereka datang
menyerahkan diri kepadaku?” (QS An-Naml/16 : 38)
d). مَتَّي
= Kapan
مَتَى نَصْرُ اللهِ اَلاَ اِنَّ
نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ
“Kapan datangnya pertolongan Allah?
Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah SWTitu sangat dekat.” (QS Al-Baqarah/2
: 215)
e). اَيْنَ=Diman
اَيْنَ مَسْكَنُكَ
“Di manakah tempat tinggalmu?”
c.
Kaidah ‘Am
عُمُوْمُ العَّامِ سُمُوْلِيٌّ وَ
عُمُوْمُ المُطْلَقِ بَدَلِيٌّ
Artinya : “Keumuman ‘am itu
bersifat menyeluruh sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat mengganti /
mewakili.”
Ulama ushul fiqih membedakan antara
lafadz ‘am dan lafadz mutlaq. Lafadz ‘am dapat mencakup semua satuan sekaligus,
sedangkan mutlaq hanya dapat diterapkan kepada salah satu dari beberapa, yaitu
sesuatu yang menonjol diantara satuan itu.
2. KHASH (الخَاصً)
a.
Pengertian Khash
Dari segi bahasa khash berarti
tertentu atau khusus. Sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
الخَصُّ هُوَ اللَفْظُ الذِى يَدُلُّ
عَلَى مَعْنًا وَاحِدًا
Artinya : “Lafadz yang
menunjukkan satu makna tertentu.”
Makna satu tertentu itu bisa
menunjukkan perorangan, seperti Ibrahim, atau menunjukkan satu jenis, seperti
Laki-laki atau menunjukkan bilangan, seperti dua belas, lima belas, sebuah
masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dll.
b.
Pembagian takhsis
Dalil yang mengecualikan dalil
‘am (takhsisi) ada dua macam : 1) Takhsis muttasil (bersambung), 2)
takhsis munfasil (terputus /terpisah)
1)
Takhsis muttasil (bersambung)
adalah dalil pengecualian yang tidak
berdiri sendiri, antara mukhasshish dan yang di takhsis disebut secara
beriringan dalam satu nash/teks. Yang dapat dibedakan menjadi :
(1) Takhsis dengan istisna الاستثناء atau kecuali seperti
firman
Allah SWT :
ÎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ)
z`»|¡SM}$# Å"s9 Aô£äz ÇËÈ
“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian”
(2) Takhshis dengan
syarat
seperti firman Allah SWT :
£`åkçJs9qãèç/ur
‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î)
Artinya :
“ Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika
para suami menghendaki perdamaian“
Kalimat jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah adalah syarat. Jadi, apabila rujuk itu tanpa maksud ingin
hidup dengan damai dalam rumah tangga tidak diperbolehkan.
(3) Takhshis
ghayah atau ‘hingga batas’, baik waktu maupun
tempat, ghayah itu ada dua macam, yaitu hatta (sehingga) dan ilaa (sampai).
a. Ghayah dengan hatta yang menunjuk
batas waktu
Ÿwur
£`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ
Artinya : “ Dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci “. (QS Al-Baqarah /2:222)
b. Ghayah dengan ilaa yang
menunjuk batas tempat
$pkš‰r'¯»tƒ
šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku “ (QS. Al-Maidah/5 :6)
2)
Takhsis Munfasil (terputus/terpisah) :
adalah mukhashis dan yang di
takhsis terpisah, tidak dalam satu kalimat.
Bentuk-bentuknya sebagai berikut :
a. Al hiss (indera)
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً
تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (٢٣)
23. Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu
serta mempunyai singgasana yang besar. An naml: 23
Indera manusia tidak mungkin diberi
yang namanya segala sesuatu, pastilah segala sesuatu ini
sesuatu yang terbatas.
b. akal
...هُوَ خَالِقُ
كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (١٠٢)
...dia; Pencipta segala
sesuatu, Maka sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu.
Al an’am: 102
Secara akal segala sesuatu
di sini kecuali dzat Allah sendiri
c. Nash
1. Ayat Al-Qur’an ditakhsis dengan
ayat Al-Qur’an seperti firman Allah
SWT :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ/utItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru' “ (QS. Al-Baqarah/2 ; 228)
Ayat ini memberikan pengertian umum,
meliputi wanita-wanita yang dicerai kemudian dikecualikan (ditakhsis) bagi
wanita-wanita yang sedang hamil dengan firman Allah SWT :
àM»s9'ré&ur
ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq
Artinya :
“ Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya “. (QS
Ath-Thalaq/65:4)
Ayat ‘am diatas disamping ditakhis
dengan surah Ath-Thalaq :4, juga ditakhsis dengan surah Al-Baqarah : 234
tentang wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya dan ditakhsis dengan surah
Al-Ahzab :49 tentang wanita yang dicerai suaminya yang belum
mengadakan hubungan kelamin.
2. Ayat Al-Qur’an yang ditakhsis
dengan hadits
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû
öNà2ω»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$#
“ Allah mensyariatkan bagimu
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian anak laki-laki denga
dua bagian anak perempuan ” (QS. An-Nisa’ /4: 11)
Ayat diatas memberi pengertian umm,
baik anak msuslim maupun yang bukan muslim. Ayat ini kemudian ditkhsis dengan
hadits Nabi SAW :
(اَلْمُخَصَّصُ)
لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ اْلكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرَ الْمُسْلِمُ (رواه البخري
ومسلم )
Artinya :
“Orang Islam tidak menerima waris dari orang kafir dan orang
kafir tidak menerima waris dengan orang Islam “ (HR. Bukhari Muslim)
3. Ayat al qur’an ditakhsih dengan
ijma
Laki-laki yang menuduh wanita
baik-baik berbuat zina dan tidak bisa mendatangkan empat orang saksi maka
deralah mereka 80 kali ( annur: 4)
Ijma mentakhsis budak laki – laki
penuduh di dera 40 kali separo laki-laki merdeka
4. Ayat al qur’an ditakhsis dengan
qiyas
Pezina wanita dan pezina laki-laki,
deralah setiap salah satu dari keduanya 100 kali. Annur: 2
Qiyas mentakhsih bahwa budak
laki-;ali atau budak perempuan deranya 50 kali.
5. Hadits ditakhsis dengan Al-Qur’an
(العل)
لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتيَّ يَتَوَضَّاءَ (رواه
البخاري ومسلم )
Artinya :
“ Allah tidak menerima shalat seseorang diantara kamu yang
berhadas, sehingga dia berwudhu “ ( HR. Bukhori dan Muslim )
bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr&
4’n?tã @xÿy™ ÷rr& uä!$y_ Ó‰tnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr&
ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹
Artinya :
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalan atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
menemukan air maka tayamumlah dengan tanah yang suci “ ( QS.
An-Nisa’/4 : 43)
6. hadits ditakhsis dengan hadits
“ pertanian yang diairi hujan
zakatnya sepersepuluh” ditkahsish dengan hadits “ yang kurang dari 5 wasaq
tidak terkena zakat”
7. hadits ditkashsis dengan ijma
8. hadits di takhsis dengan qiyas.
Bujang yang melakukan zina dicambuk
100 kali dan diasingkan, qiyas mentakhsish bagi budak hukumannya separo,
demikian menurut jumhhur.
- MUTLAQ DAN MUQAYYAD
1. Pengertian Mutlaq dan
Muqayyad ( المطلق والمقيد)
Mutlaq menurut bahasa berarti lepas
tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu yang tidak
terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya. Contoh mutlaq
ãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s%
br& $¢!$yJtFt
“Maka wajib atasnya memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 :
3)
Lafadz budak dalam ayat tersebut
adalah lafadz mutlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu. Sehingga
lafadz raqabatin itu mencakup keseluruhan budak, baik yang mukmin maupun yang
kafir.
Muqayyad menurut bahasa berarti
terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz
lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
Contoh Muqayyad
`tBur
Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B
“Dan barang siapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman
dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa/4 : 92)
Pada ayat ini teradapat lafadz
muqayyad yaitu : رَقَبَةٍ مُؤْمِنَهُ
sehingga kalau seseorang membunuh orang mukmin karena tersalah maka wajib
memerdekakan budak yang mukmin sebagai kifaratnya. Kalau budaknya bukan orang
mukmin maka kifarat itu tidak sah.
2. Hukum Lafadz Mutlaq
dan Muqayyad
Apabila dalam nash Al-Qur’an atau
As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan
dengan bentuk muqayyad, maka menurut Ulama’’ ada empat alternatif pemecahannya
:
1) المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّدِ اِذا اتَّفَقَا
ِفي السَّبَبِ وَ اْلحُكُمِ
Artinya :
“Mutlaq dibawa ke muqayyad jika
sebab dan hukumnya sama. Jika antara mutlaq dan muqayyad sama dalam materi dan
hukunya, maka hukum mutlaq disandarkan kepada muqayyad “
Berarti kalau keduanya mempunyai
persamaan dalam sebab dan hukum, maka harus berpegang pada muqayyad.
Contoh :
ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ èptGøŠyJø9$#
ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ̓̓Yσø:$#
“Diharamkan atas kamu bangkai,
darah, dan daging babi.” (QS. Al-Maidah /5: 3)
Lafadz (darah) disebut dengan lafadz
(mutlaq), sementara pada ayat yang lain disebutkan dengan lafadz muqayyad yaitu
: (darah yang mengalir) sebagaimana firman Allah SWTsebagai
berikut.
@è% Hw
߉É`r& ’Îû !$tB zÓÇrré& ¥’n<Î) $·B§ptèC 4’n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ
HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9
9ƒÍ”\Åz
“Katakanlah, tiada aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkannya bagi orang yang
hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang
mengalir atau daging babi.” (Qs Al-An’am/6 : 145)
Dengan melihat ketentuan di atas,
maka yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad, karena mempunyai sebab yang sama
yaitu keadaannya sama-sama darah dan juga hukumnya sama yaitu haram. Sehingga
yang dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145 karena lafadznya yang
muqayyad (darah yang mengalir). Dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am
145 karena lafadznya muqayyad (darah yang mengalir)
2) المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّداِنِ احْتَلَفَا ِفي
السَّبَبِ
Artinya :
“ Mutlaq itu dibawa ke muqayyad
jika sebabnya berbeda “
Apabila terdapat nash yang demikian,
yang mutlaq tidak boleh diikutkan pada yang muqayyad, sementera Ulama’’
Syafi’iyah berpendapat sebaliknya yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad.
Contoh :
tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB
öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ `ÏiB È@ö6s%
br& $¢™!$yJtFtƒ 4
“Orang-orang yang mendzihar istri
mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka
wajib atas mereka memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu
bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 : 3)
Ayat lain menjelaskan sebagai
berikut :
`tBur Ÿ@tFs%
$·YÏB÷sãB $\«sÜyz ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B #’n<Î)
Ï&Î#÷dr&
“Dan barang siapa membunuh seorang
mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan budak yang mukmin dan membayar
diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa’/4 : 92)
Masalah yang ada dalam dua ayat ini
berbeda yaitu tentang dzihar dan pembunuhan tersalah. Kifarat terhadap keduanya
sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena itu, yang dijadikan pegangan
adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik terhadap dzihar maupun
pembunuhan tersalah.
3) المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّداِذَاحْتَلَفَا ِفي
َاْلحُكُمِ
Artinya :
“ Mutlaq itu tidak dibawa ke
muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya “
Sama sebabnya tetapi hukumnya
berbeda, Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah berpegang pada yang muqayyad,
sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanabillah berpegang pada masing-masing yaitu
yang mutlaq tetap mutlaq dan muqayyad tetap muqayyad.
Contoh :
(#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai ke siku.” (QS Al-Maidah /5: 6)
Ayat yang lain dinyatakan
(#qßs|¡øB$$sù
öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ‰÷ƒr&ur çm÷YÏiB
“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah itu.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan
Hanafiyah berpegang pada muqayyad, baik wudhu maupun tayamum harus sampai siku.
Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk wudhu sampai siku (muqayyad)
dan untuk tayamum sampai pergelangan tangan (mutlaq).
4) المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّد اِذِ اخْتَلَفَا ِفي
السَّبَبِ
Artinya :
“ Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad
jika sebab dan hukumnya berbeda “
Jika sebab dan hukumnya berbeda,
maka mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa mutlaq tidak boleh diikutkan dengan
muqayyad. Artinya yang mutlaq tetap dan yang muqayyad sesuai dengan
muqayyadnya.
Contoh :
ä-Í‘$¡¡9$#ur èps%Í‘$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr&
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, maka potonglah kedua tangannya.” (QS Al-Maidah/5 : 38)
Ayat yang lain :
(#qè=Å¡øî$$sù
öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#
“Maka basuhlah wajahmu dan kedua
tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
Karena sebab dan hukumnya berbeda,
maka hendaklah dijalankan sesuai dengan hukum masing-masing.
3. Kaidah yang
berhubungan dengan Mutlaq dan Muqayyad
المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى اِطْلاَقِهِ
مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
Artinya : “Hukum mutlaq
ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.”
المُقَيَّدُ بَاقٍ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَقِهِ
Artinya : “Hukum muqayyad tetap
dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
- MANTUQ DAN MAFHUM (المنطوق والمفهوم )
1. Pengertian Mantuq dan
Mafhum
Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah
suatu makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya).
Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat. Apabila suatu hal atau hukum diambil
berdasarkan bunyi dari dalil (ucapan dalil) maka yang demikian itu dinamakan
mantuq.
Contoh :
¨@ymr&ur
ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Allah SWT menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba.” (QS Al-Maidah/5 : 275)
Hukum jual beli itu halal dan riba
itu haram. Langsung ditunjukkan secara jelas oleh lafadz ayat tersebut.
Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah
suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut
pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang
tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan pemahaman terhadap
suatu ucapan maka dinamakan mafhum.
Contoh
Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
“Janganlah engkau katakan kepada
keduanya (ibu bapakmu) perkataan “cih”.” (QS Al-Isra’/17 : 23)
Secara mantuq ayat ini mengharamkan
mengucapkan kata “cih” kepada kedua orang tua. Namun bagaimana kalau memukul
orang tua ? kita dapat memahami dari ayat tersebut, bahwa mengucapkan kata
“cih” saja yang begitu ringan diharamkan apalagi kalau sampai memukulnya, tentu
lebih berat. Tetapi hukum haram memukul orangtua tidak ditunjukkan oleh lafadz
ayat, melainkan ditunjukkan oleh pemahaman terhadap ayat tersebut.
2. Macam-Macam Mafhum
Mafhum dibagi menjadi dua yaitu
mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
1) Mafhum muwafaqah,
yaitu menetapkan hukum dari makna yang sejalan atau sepadan dengan makna yang
tersurat (mantuq) berarti sesuatu yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan
yang diucapkan.
Misalnya, khamr itu diharamkan
karena memabukkan. Maka semua zat yang memabukkan itu hukumnuya haram,
mengucapkan kata “Cih” kepada kedua orangtua adalah haram, menurut mafhumnya
memukul kedua orangtua juga haram, karena keduanya mempunyai illat yang sama,
yaitu sama-sama memabukkan.
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi
2 macam
a)
Fahwal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya
daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya,
sebab mengucapkan kata “cih” saja (lebih ringan dari memukul) juga diharamkan,
apalagi memukul kedua orangtua.
b)
Lahnal khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya
dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu hukumnya haram,
sebab memakannya juga dihukumi haram. Keduanya mempunyai illat yang sama yaitu
sama-sama merusak harta anak yatim .
2)
Mafhum Mukhalafah, yaitu menetapkan hukum kebaikan dari hukum mantuqnya yang
tidak diucapkan itu bertentangan/kebalikan dengan apa yang diucapkan baik dalam
menetapkan hukum maupun meniadakannya. Mafhum mukhalafah terdiri dari
enam, macam :
c) Mafhum
sifat, yaitu menetapkan hukum tentang sesuatu berlawanan dengan sifat yang
ditetapkan.
Misalnya :
ãƒÌóstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B
“…Hendaklah memerdekakan hamba
sahaya yang mukmin.” (QS An-Nisa/4 : 92)
Membayar kifarat pembunuhan tersalah
dengan memerdekakan budak yang mukmin, maka kalau dengan hamba sahaya yang
tidak mukmin (kafir) hukumnya tidak sah.
d) Mafhum
syarat, yaitu menetapkan hukum atas suatu perkara dikaitkan dengan
syarat. Misalnya, suami boleh memakai sebagian dari mas kawin istrinya dengan
penyerahan senang hati, mafhumnya adalah apabila istri tidak menyerahkan dengan
senang hati, hukumnya haram.
e) Mafhum
‘adad (bilangan), yaitu menetapkan hukum suatu perkara dikaitkan dengan
bilangan tertentu. Misalnya, orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat
zina tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka terkena hukuman berupa didera
delapan puluh kali. Mafhumnya adalah apabila dapat menghadirkan empat orang
saksi, maka tidak dihukum dera.
f)
Mafhum Ghayah (batas), yaitu menetapkan suatu hukum dengan batasan
tertentu dan berlaku sebaliknya bila batasan tersebut dilampaui. Misalnya,
makan dan minum pada bulan Ramadhan dibatasi sampai terbitnya fajar. Mafhumnya
adalah kalau melebihi waktu fajar maka makan dan minum itu dilarang.
g) Mafhum
Hashr (pembatas/penyingkat) yaitu menetapkan suatu hukum disertai
pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Misalnya, tuan yang
telah membebaskan budaknya berhak mewarisi harta peninggalan budak tersebut.
Mafhumnya selain tuan yang telah membebaskannya, tidak ada yang berhak
mendapatkan warisan dari budak yang telah dimerdekakan itu.
h) Mafhum
Laqab, yaitu menetapkan hukum dikaitkan dengan isim alam, nama
jenis dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku sebaliknya. Misalnya,
menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, beras
dengan beras, kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang serupa (sifatnya)
dan sama (jumlahnya) suka sama suka, dengan berat jumlah sama maka bukan riba
Apabila penukaran barang yang
sejenis itu tidak berarti diperbolehkan sama jumlahnya, maka hukumnya riba,
mafhumnya adalah selain yang enam jenis tersebut di atas hukumnya bukan riba.
3. Berhujjah dengan
Mafhum
Menjadikan mafhum sebagai dasar
hukum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut :
i)
Para Ulama’ sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah.
j)
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah
diperbolehkan kecuali mafhum laqab.
k)
Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan golongan Zahiriyah berpendapat bahwa semua
mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah/alasan.
4. Kaidah terkait dengan
Mantuq dan Mafhum
مَفْهُوْمُ المُوَافَقَةِ حُجَّةٌ
Artinya : “Mafhum muwafaqah
(makna tersirat yang sesuai) dapat dijadikan hukum.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa hasil
dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan hukum syariat dapat dijadikan
pegangan hukum. Contohnya, keharaman berkata “ah” kepada kedua orang tua. Maka
menghardik, menghina, bahkan memukulnya juga diharamkan.
- MUJMAL DAN MUBAYYAN ( المجمل والمبيّن )
1. Pengertian Mujmal dan
Mubayyan
Mujmal ialah lafadz yang untuk memahami maksudnya tergantung pada
lafadz lainnya baik mengenai ketentuannya, atau sifat/tatacara atau
ukurannya. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan mujmal sebagai “lafadz”
yang pengertiannya tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri apabila tidak
ada qorinah/tanda-tanda yang menjelaskannya.
Contoh :
- Mujmal yang maksudnya harus ditentukan
salah satu maknanya terlebih dahulu. Yakni kata quru’ karena memiliki
dua arti yakni suci dan haid. Untuk menentukan maknanya memerlukan ayat atau
hadits yang menjelaskan arti ini.
{وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ} [البقرة: من الآية228]
- Contoh mujmal yang membutuhkan penjelasan
tatacara, اقيموالصلواة… cara melaksanakannya membutuhkan penjelasan dari ayat atau
hadits lainnya.
- Contoh mujmal yang membutuhkan penjelasan ukurannya
{وَآتوا
الزكاة } [البقرة: من الآية43]
Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan maksudnya sejak
semula atau setelah ada penjelasan.
Contoh :
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû
Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ou|³tã ×’s#ÏB%x.
“Maka wajib puasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
(QS Al-Baqarah : 196)
Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga
hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh),”ardlun” (bumi), “samaun”
(langit) adalah sangat jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.
- Macam-Macam Bayan
3)
Bayan dengan perkataan, misalnya :
ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r& Îû
Ædkptø:$# >pyèö7yur #sÎ) öNçF÷èy_u 3 y7ù=Ï? ×ou|³tã ×’s#ÏB%x.
“Maka wajib puasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
(QS Al-Baqarah/2 : 196)
Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga
hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh) adalah sangat jelas sehingga
tidak perlu penjelasan lagi.
Ayat ini sebagai bahan (penjelas)
dari rangakaian kalimat sebelumnya tentang pengganti denda/dam bagi
orang yang melaksanakan haji tamattu’.
4)
Bayan dengan perbuatan, misalnya penjelasan Nabi SAW dalam masalah shalat.
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى
أُصَلِّى
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku mengerjakan shalat.” (HR Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan
Rasulullah SAW.dengan perbuatan shalat dan sambil menyuruh orang lain untuk
menirukannya. Oleh karena itu, penjelasan semacam ini disebut “Bayan dengan
perbuatan”.
5)
Bayan dengan isyarat, misalnya hadits Nabi, “ Aku dan orang yang menanggung
anak yatim seperti ini”. Rasulullah menunjukkan ibu jari dan jari tengah
untuk menunjukka kedekatannya para penyantun anak yatim.
6)
Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan, seperti ketika Rasulullah SAW.
menerangkan tentang kewajiban haji di muka umum, kemudian ada salah seorang
yang bertanya, apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun? Kemudian beliau diam
tidak memberikan jawaban. Maka diamnya Rasulullah SAW itu menjadi bayan bahwa
kewajiban haji itu tidak setiap tahun.
7)
Bayan dengan meninggalkan perbuatan, seperti hadits riwayat Ibnu Hibban yang
artinya : “Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW adalah tidak berwudhu
karena makan apa yang dipanaskan oleh api.”
Hadits ini sebagai penjelaskan bahwa
Nabi SAW tidak berwudhu setiap kali selesai makan daging yang dimasak.
- Kaidah terkait dengan Mujmal dan Mubayyan
تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ
الحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ
Artinya : “Mengakhirkan
penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.”
Maksudnya, dalam keadaan mendesak,
memberikan penjelasan sesegera dan secepat mungkin menjadi keharusan.
تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ
الخِطَابِ يَجُوْزُ
Artinya : “Mengakhirkan
penjelasan pada saat diperintahkan hukumnya boleh.”
Contoh, perintah salat, puasa,
zakat, dan haji. Semua dijelaskan secara bertahap dan mendetail. Ia tidak
langsung serta merta dijelaskan, tetapi penjelasannya diakhirkan. Dalam hal
ini, yang lebih dipentingkan adalah kejelasan dari suatu hukum, bukan
kesegeraannya.
- MURADIF DAN MUSYTARAK (المرادف والمشترك)
- Pengertian Muradif dan Musytarak
Muradif ialah beberapa lafadz yang
menunjukkan satu arti. Misalnya lafadznya banyak, sedang artinya dalam
peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.
8)
اللَّيْثُ, الاَسَدُ
:singa
9)
الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)
10) الهرّ, القط
: kucing
- Pengertian Musytarak
musytarak ialah satu lafadz
yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz mengandung
maknanya yang banyak atau berbeda-beda.
11) قُرُوْءُ
:suci
12) يَدٌ
:tangan
secara keseluruhan, telapak tangan, lengan tangan
13) ذَهَبَ
: pergi, hilang
14) عَيْنٌ
: mata,
sumber mata air dan mata-mata
- Muradif dan Musytarak
a.
اِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ المُرَادِفَيْنِ
مَكَانَ الاخرِ يَجُوْزُ اِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ
Artinya: Mendudukkan dua muradit
pada tempat yang lain (mempertukarkannya) itu diperbolehkan jika tidak ada
ketetapan syara’.
Mempertukarkan dua muradif satu sama
lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak
berlaku bagi Al-Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah,
takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam
syafi’I membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan
lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.
Ulama’ yang tidak membolehkan
beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa
adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya
kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.
b.
اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى
مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ
Artinya : Penggunaan musytarak
menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.
Jadi, menetapkan salah satu makna
dari suatu lafal musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut
boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan
kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS
Al-Hajj [22] : 2, “Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat
Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun
dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang
beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.”
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i,
Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadz musytarak untuk
dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT.
óOs9r& ts? cr& ©!$#
ßàfó¡o ¼çms9 `tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# `tBur Îû ÇÚöF{$# ߧôJ¤±9$#ur
ãyJs)ø9$#ur ãPqàfZ9$#ur ãA$t7Ågø:$#ur ãyf¤±9$#ur >!#ur¤$!$#ur ×ÏV2ur
z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# (
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan,
bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar manusia?” (QS Al-Haj : 18)
Lafadz يَسْجُدُ
itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan
dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan,
bintang, gunung, pohon dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi
bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila
arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan
كَثِيْرٌ
مِنَ النَاسِ . oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah”
dalam firman Allah SWT: اوْ لَمَسْتُمُ
النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan
bersetubuh secara bersama-sama.
- ZAHIR DAN TAKWIL
- Pengertian Zahir dan Takwil
Zahir menurut bahasa berarti jelas,
sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya yang dengan
sendirinya menunjuk makna/arti yang lebih kuat dengan kemungkinan mengandung
makna lain.
Contoh Zahir:
Firman Allah SWT:
¨@ymr&ur
ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
“Allah SWT telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah /2: 275)
Ayat tersebut secara zahir
menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba tanpa memerlukan keterangan
atau penjelasan lain.
توضؤوا من لحوم الإبل
Hendaklah kalian wudlhu lagi
karena makan daging unta.
Kata “wudlu” di sini bermakna
dhohir yakni wudlu sperti hendak sholat. Bukan wudlu secara bahasa yaitu
bersih.
Sedangkan takwil secara bahasa
berarti berbelok atau berpaling apabila kembali. Menurut istilah adalah
memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan
dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
Contoh Takwil : seperti lafadz يَدٌ (tangan),
lafadz ini bisa diartikan kepada tangan atau makna yang lain yaitu kekuasaan.
و اسأل القرية
Bertanyalah pada desa itu.
Ditakwil menjaadi “bertanyalah pada penduduk
desa itu” karena tidak mungkin bertanya pada desa itu sendiri.
Agar lafadz tersebut menjadi jelas,
maka masih diperlukan keterangan lain, sehingga tidak menyimpang dari makna
zahirnya.
- Masalah yang dapat ditakwil
Para Ulama’ sepakat bahwa
masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil. Sedangkan
masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.
15) Golongan Musyabbihah
berpendapat bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah tidak perlu
ditakwilkan karena sudah jelas dan berlaku menurut zahir, seperti mengartikan
tangan Allah SWT disamakan dengan tangan manusia / makhluk-Nya.
16) Golongan salaf seperti
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah dapat
ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat
ini Allah SWT memang bertangan tetapi tangan Allah SWT itu berbeda dengan
tangan makhluk-Nya, karena hakekatnya yang paling tahu adalah Allah.
17) Golongan Khalaf
berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan pentakwilannya dilakukan oleh manusia
sendiri, seperti mengartikan “tangan Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan
Allah”, “mata Allah” ditakwilkan dengan “pengawasan Allah”, dan “Allah SWT
bersemayam di Arsy” ditakwilkan dengan “Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan
sebagainya.
- Syarat-syarat Takwil
Takwil harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a)
Takwil harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan sastra Arab.
b)
Takwil harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’
c)
Takwil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang takwilnya itu.
d)
Jika takwil berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.
- Kaidah berhubungan dengan Takwil
الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ
اتِّفَاقًا
Artinya : “Masalah cabang (furu’)
dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”
الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ
التَّأْوِيْلُ
Artinya : “Masalah ushuluddin
(akidah) tidak dapat menerima takwil.”
- NASIKH DAN MANSUKH
Sebagaimana kita ketahui bahwa
Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus tetapi bertahap untuk memudahkan umat
Islam menyesuaikan diri dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT. sehingga
kadang ada hukum yang dulu sudah ditetapkan dianggap tidak berlaku lagi karena
ada hukum baru yang datang kemudian. Hukum terdahulu yang dianggap tidak
berlaku lagi disebut mansukh = yang dihapus, dan hukum yang datang kemudian
disebut nasikh = yang menghapus.
- Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh menurut bahasa dari kata نَسَحَ berarti menghapus, memindahkan atau
membatalkan, sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah
النَّسْخُ هُوَ رُفْعُ حُكْمٍ
شَرْعِيِ عَنِ المَكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِىٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِّرِ
Artinya : “menghapus hukum syara’
yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian.”
Yang membatalkan disebut nasikh dan
yang dibatalkan disebut mansukh.
Contoh Nasikh dan Mansukh
Sabda Nabi SAW :
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ
القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا
“Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah
ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan kamu tentang akherat.” (HR Muslim
dan Abu Dawud).
Menurut hadits di atas semula ziarah
kubur itu hukumnya haram. Kemudian, hukum haram itu sudah dihapus. Yang
menghapuskan haramnya ziarah kubur adalah hadits Nabi SAW sendiri dengan
sabdanya.
- Dasar Hukum Nasakh
Firman Allah SWT :
$tB ô|¡YtR
ô`ÏB >pt#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù’tR 9ös¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB
3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs%
“Ayat mana saja yang kami hapuskan
atau kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik
dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah SWTMaha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS Al-Baqarah : 106)
(#qßsôJt ª!$#
$tB âä!$t±o àMÎ6÷Vãur ( ÿ¼çnyYÏãur Pé& É=»tGÅ6ø9$#
“ Allah SWTmenghapuskan apa yang Dia
kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) dan di sisi-Nyalah terdapat
Ummul Kitab (Lauh Mahrfudz).” (QS Ar-Ra’ad/13 : 39)
- Syarat-syarat Nasakh
Nasakh harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a)
Yang dinasakh (dibatalkan) itu hukum syara’
b)
Pembatalan itu datangnya dari Khithab (tuntunan) syara’
c)
Nasikh harus terpisah / muntashil dari Mansukh, dan datangnya terkemudian dari
mansukhnya.
d)
Mansukh tidak terikat oleh waktu
e)
Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Misalnya, Al-Qur’an
dengan al-Qur’an yang sama-sama qath’i.
- Macam-macam Nasakh
Para ulama ushul fiqih membagi
nasakh menjadi 3 macam.
18) QS. Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an
QS. Al-Anfal [8] : 65
$pkr’¯»t
ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym úüÏZÏB÷sßJø9$# n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3t öNä3ZÏiB
tbrçô³Ïã tbrçÉ9»|¹ (#qç7Î=øót Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3t Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB
(#þqç7Î=øót $Zÿø9r& z`ÏiB úïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr’Î/ ×Pöqs% w
cqßgs)øÿt
Artinya : “Hai Nabi, Kobarkanlah
semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar
diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan
jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat
mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum
yang tidak mengerti”.
Dinasakh dengan surat QS Al-Anfal
[8] : 66
w
(#râÉtG÷ès? ôs% Länöxÿx. y÷èt/ óOä3ÏY»yJÎ) 4 bÎ) ß#÷è¯R `tã 7pxÿͬ!$sÛ
öNä3ZÏiB ó>ÉjyèçR Opxÿͬ!$sÛ öNåk¨Xr’Î/ (#qçR$2 úüÏBÌøgèC
Artinya : “Tidak usah kamu minta
maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu
(lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain)
disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”
19) Sunnah dengan Al-Qur’an
اِسْتِقْبَلَهُ فِى الصَّلاةِ سِتَّةَ
عَشَرَ شَهْرًا
Artinya : “Bahwasannya Nabi SAW
menghadap (Baitul Maqdis) dalam shalat enambelas bulan.”
فَوَلِّى وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ
الحَرَامِ
Artinya : “Hadapkanlah mukamu ke
arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah, ayat 144)
20) Sunnah dengan Sunnah
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَاررَةِ
القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا
- Hikmah Naskh
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hikmah
adanya naskh adalah sebagai berikut:
21) Hukum Allah diturunkan
untuk mewujudkan kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup manusia selalu
berubah disebabkan perubahan hidup, waktu, dan tempat. Maka naskh sebagai salah
satu jalan memperjelas hukum hasilnya sejalan dengan kepentingan hidup manusia
di mana saja manusia hidup.
22) Pembentukan hukum
memerlukan adanya tahapan sehingga manusia tidak merasa kaget dan tidak merasa
berat. Misalnya, proses keharaman khamar.
- Kaidah berhubungan dengan Naskh
القَطْعِيُّ لاَ يَنْسَخَهُ الظَّنُّ
Artinya : “Dalil qath’I tidak
dapat dihapus dnegan dalil zanni.”
- Pengertian Amar ( َاْلاَمْرُ )
الاَمْرُ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ
الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Amar adalah perkataan meminta kerja
dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah.”
- Bentuk-Bentuk Amar dan Contohnya
- Fi’il Amar
- Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : ولتكن
- Isim Fi’il Amar
- Isim Masdar pengganti fi’il
- misal kata : $ZR$|¡ômÎ) = berbuat baiklah
- Kalimat Berita (Kalam Khabar) bermakna Insya
- Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah
أَمَرَ,فَرَضَ, كَتَبَ, وَجَبَ
- Kaidah-Kaidah Amar dan Maknanya
- Kaidah pertama
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ
“Pada dasarnya perintah itu
menunjukkan wajib.”
- Kaidah Kedua : Perulangan dalam Suruhan
1)
Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار
“Pada dasarnya perintah itu tidak
menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”
2) Amar (perintah) itu menghendaki
berulang-ulang
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ يَقْتَضِى
التِكْرَار مُدَّةَ العُمْرِ مَعَ الاِمْكَانِ
“Pada dasarnya perintah itu
menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada
kesanggupan selama hidup.”
- Kaidah Ketiga
الاَمْرُبِالشَّيْئِ اَمْرٌ
بِوَسَائِلِهِ
“Perintah mengerjakan sesuatu
berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara.”
- Kaidah Keempat
الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى
الفَوْرَ
“Pada dasarnya perintah (Amar) itu
tidak menuntut dilaksanakan segera.”
- Kaidah Kelima
الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعِيْدُ
الابَاحَةِ
“Perintah sesudah larangan
menunjukkan kebolehan.”
- 4. Pengertian Nahi (larangan)
النَهْيُ هُوَ طَلَبُ التَّرْكِ مِنَ
الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى
“Larangan ialah tuntutan untuk
meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih
rendah tingkatannya.”
- Bentuk-Bentuk Nahi
- Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiah” / lam nahi = janganlah
- Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan / suatu larangan.
- Kaidah-Kaidah Nahi dan Maknanya
- Kaidah Pertama
الاَصْلُ فِى النَهْيِ لِلتَحْرِيْمِ
“Pada dasarnya larangan itu
menunjukkan haram.”
- Kaidah Kedua
الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ
يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ
“Pada dasarnya larangan mutlaq itu
menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”
- Kaidah Ketiga
النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ
“Melarang dari sesuatu itu berarti
memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”
- Kaidah Keempat
النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ
المُنْهِىِّ عَنْهُ
“Pada dasarnya larangan itu
menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”
- 7. Al ‘Am (العَامُ ) secara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
- Kaidah ‘Am
عُمُوْمُ العَّامِ سُمُوْلِيٌّ وَ
عُمُوْمُ المُطْلَقِ بَدَلِيٌّ
Artinya : “Keumuman ‘am itu
bersifat menyeluruh sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat mengganti /
mewakili.”
- 9. Pengertian Khash menurut istilah Ushul Fiqih :
الخَصُّ هُوَ اللَفْظُ الذِى يَدُلُّ
عَلَى مَعْنًا وَاحِدًا
Artinya : “Lafadz yang
menunjukkan satu makna tertentu.”
- Mutlaq menurut bahasa berarti lepas tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya.
- Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
- Nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad,
- Kaidah yang berhubungan dengan Mutlaq dan Muqayyad
المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى اِطْلاَقِهِ
مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
Artinya : “Hukum mutlaq
ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.”
المُقَيَّدُ بَاقٍ عَلَى تَقْيِيْدِهِ
مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَقِهِ
Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi
muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”
- Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat.
- Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum. .
- Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
- Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam
1)
Fahwal Khitab.
2)
Lahnal khitab.
- Mafhum Mukhalafah, terdiri dari enam, macam :
1) Mafhum
sifat,
2) Mafhum
syarat,
3) Mafhum
‘adad (bilangan),
4) Mafhum
Ghayah (batas),.
5) Mafhum
Hashr (pembatas/penyingkat) itu.
6) Mafhum
Laqab
- Mujmal ialah lafadz yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan.
- Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan maksudnya, tanpa memerlukan keterangan lain untuk menjelaskannya.
- Macam-Macam Bayan
- Bayan dengan perkataan,
- Bayan dengan perbuatan,
- Bayan dengan isyarat.
- Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan,.
- Bayan dengan meninggalkan perbuatan,
- Kaidah terkait dengan Mujmal dan Mubayyan
تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ
الحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ
Artinya : “Mengakhirkan
penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.”
- Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti.
- Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya menunjukkan kepada suatu arti tanpa memerlukan
- Takwil menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
- Kaidah berhubungan dengan Takwil
الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ
اتِّفَاقًا
Artinya : “Masalah cabang (furu’)
dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”
الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ
التَّأْوِيْلُ
Artinya : “Masalah ushuluddin
(akidah) tidak dapat menerima takwil.”
- Nasikh menurut bahasa dari kata نَسَخَ berarti menghapus, memindahkan atau membatalkan, sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah
النَّسْحُ هُوَ رُفِعَ حُكْمٌ
شَرْعِيٌّ عَنِ المَكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِىٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِرِ
Artinya : “menghapus hukum syara’
yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian.” .
Yang membatalkan disebut nasikh dan
yang dibatalkan disebut mansukh.
- Macam-macam Nasakh
- QS. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
- Sunnah dengan Al-Qur’an
- Sunnah dengan Sunnah
- 29. Kaidah berhubungan dengan Naskh
القَطْعِيُّ لاَ يَنْسَخَهُ الظَّنُّ
Artinya : “Dalil qath’I tidak
dapat dihapus dnegan dalil zanni.”
KAMUS ISTILAH
1.
Dalalah : petunjuk
2.
Kaidah : rumusan
yang menjadi dasar hukum, aturan yang sudah pasti
3.
Tersirat : tersimpul, tersembunyi
4.
Muskil : tidak jelas
5. Sigat
: ucapan
Comments
Post a Comment