MAKALAH LENGKAP - SYADUZ DZARI’AH - DILALAH AL- IQTIRAN



Kata Pengantar



Assalamualaikum Wr.wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat ilahi robby atas curahan nikmat hidayah dan juga karunianya. Slawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada rasulullah Muhammad Saw, beserta keluarga (ahli bait) amin ya rabbal alamin.
Allhamdulillah telah dapat kami selesaikan penyusunan makalah yang bertemakan syadduz dzara’I dan dalalatul iqtiran ini dengan lancar adapun tujuan makalah ini adalah untuk memberikan tambahan ilmu kepada para siswa/siswi mengenai masalah-masalah fiqih.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan nuansa dan gairah baru terhadap proses pembelajaran ilmu fiqih.
Tentunya kami menyadari bahwa dalam penyusunan makallah ini pasti masih banyak kekurangan, maka dari itu kami harap bapak guru yang bersangkutan pengarahan sebagai pelengkap kekurangan tersebut. Dan semoga segala ihtiar kita di ridhai Allah Swt.

Summa salamualaikum Wr.wb



























Daftar isi


Kata pengantar
Daftar isi

Bab I : PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
B.     Masalah
Bab II : PEMBAHASAN

1.      SYADUZ DZARI’AH
·         Devinisi syaddudz-dzari'ah
·         Prinsip-prinsip Saddudz Dzara’i
·         Dasar hukum saddudz dzarî'ah
·        Obyek saddudz dzarî'ah

2.      DILALAH AL- IQTIRAN
·         Devinisi Dilalah Al – Iqtiran
·         Kehujjahan
·         Kedudukan Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.
·         Latihan

Bab III : PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran
C.     Kunci jawaban

Daftar Pustaka









BAB I : PENDAHULUAN


A.      LATAR BELAKANG
        Menurut tinjauan bahasa secara sederhana, dzari'ah yang jamaknya dzara'i adalah berarti wasilah - yaitu suatu perantara atau jalan. Kalau dikatakan dengan bahasa Arab: huwa dzari'atiy ilaa fulaanin, maka yang dimaksud dengan kalimah dzari'atiy adalah wasiilatiy, jadi artinya: dialah perantaraku (atau jalanku) menuju si Fulan.
Dari aspek bahasa,dilalah artinya petunjuk,sedangkan iqtiran artinya bersama-sama.Adapun menurut istilah, dilalatul iqtiran ialah suatu petunjuk karena ada suatu perkara yang disebut bersama-sama dengan perkara yang lain,maka keduanya atau lebih yang bersama-sama itu diberihukum yang sama pula.

Kedudukan Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.
 Para ulama berbeda pendapat mengenai dalalatul iqtiran sebagaisumber hukuman.



B.        MASALAH

1.      Apakah yang dimaksud dengan syadduz dzara’I ?
2.      Ada berapakah prinsip-prinsip syadduz dzara’I ?
3.      Apakah dasar hukum saddudz dzarî'ah ?
4.      Ada berapa macam kah obyek saddudz dzarî'ah ?
5.      Apakah yang dimaksud dengan dilalatul iqtiran ?
6.      Apa kedudukan dilalatul iqtiran ?


BAB II : PEMBAHASAN

1.   Syaddudz-dzari'ah

A.   Devinisi syaddudz-dzari'ah
Sebutan dzari'ah yang bermakna "sarana" atau "jalan" yang bisa menuju pada keburukan atau mafsadah adalah harus di-"sumbat" (saddun), dan hal ini disebut dengan "saddudz-dzari'ah" yang merupakan susunan kata kalimah)dari mudlaf dan mudlaf ilaihi-yaitu lafadh saddun dan dzari'ah.
Menurut tinjauan bahasa secara sederhana, dzari'ah yang jamaknya dzara'i adalah berarti wasilah - yaitu suatu perantara atau jalan. Kalau dikatakan dengan bahasa Arab: huwa dzari'atiy ilaa fulaanin, maka yang dimaksud dengan kalimah dzari'atiy adalah wasiilatiy, jadi artinya: dialah perantaraku (atau jalanku) menuju si Fulan.
Jadi syaddudz dzari'ah adalah suatu hal yang menjadi perantara dan jalan terhadap suatu perkara. dalam hal ini Muhammad Abu Zahrah menjelaskan: "Dzari'ah-dzari'ah itu dalam bahasa ahli-ahli syara' (syar'iyyun) adalah merupakan suatu hal yang dapat menjadi jalan terhadap suatu perkara yang diharamkan atau dihalalkan, kemudian mengambil hukumnya. Kalau jalan yang menuju sesuatu yang diharamkan maka hukumnya haram, jalan yang menuju sesuatu yang dibolehkan maka hukumnya itu mubah, dan suatu hal yang hanya dapat menunaikan sesuatu yang diwajibkan maka hukumnya itupun wajib. Perbuatan zina hukumnya haram, dan melihat aurat orang perempuan dapat mengarah pada perzinahan maka hukumnyapun menjadi haram. Shalat Jum'ah hukumnya fardlu, karena itulah meninggalkan jual-beli lantaran untuk menunaikannya maka hukumnya (meninggalkan) menjadi wajib, sebab ia menjadi perantara terhadap shalat jum'ah itu.
 Tetapi, kalau menanam anggur ini memang diprediksi akan mengantarkan pada suatu kondisi dijadikan khamr (minuman keras), maka menanam anggur tersebut dilarang. Apakah dalilnya? Di Alquran, dalil mengenai hal ini memang tidak ada. Malahan di Alquran disebutkan, bahwa salah satu pohon di surga adalah anggur. Di Hadis juga tak disebutkan, di Ijma’ tak ada kesepakatan, di Qiyas juga tak bisa dianalogikan. Tetapi kita tahu, bahwa khamr itu dilarang oleh Alquran, sehingga hal-hal yang bisa mengantarkan kepada khamr tersebut juga dilarang. Dalil mengenai anggur dilarang dan tak boleh ditanam adalah Saddudz Dzara-i’.
 Begitu juga dalam hal jual-beli. Jika kita menjual sesuatu yang dibolehkan, tetapi ketika ada yang membelinya untuk maksud yang haram dan terlarang, maka menjual barang itu kepada yang bermaksud terlarang tersebut hukumnya adalah haram. Padahal menjualnya itu mubah. Apakah dalilnya sehingga dilarang? Dalilnya adalah Saddudz Dzara-i’. Hal ini tak ada di dalam Alquran, Hadis, dan dalil-dalil yang lain, kecuali akan ditemukan pada Saddudz Dzara-i’ yang artinya itu adalah melarang atau memutuskan hal-hal yang bisa mengantarkan kepada yang terlarang

B. Prinsip-prinsip Saddudz Dzara’i

Pertama, bahwa Dzara-i’ (perantara) itu memang dipastikan akan mengantarkan pelakunya kepada sesuatu yang haram. Maka dalam hal ini, para ulama tidak berbeda pendapat, sehingga hukumnya memang haram.
Kedua, Dzara-i’ (perantara) itu biasanya mengantar kepada keburukan. Dalam hal ini pun para ulama tidak berbeda pendapat bahwa hal tersebut hukumnya adalah haram. Diperkirakan di atas 50% hal tersebut akan mengantarkan seseorang menjadi pelaku haram.
Ketiga, hal tersebut setengah-setengah akan mengantarkan kepada keburukan dan juga takkan mengantarkan kepada keburukan. Maksudnya, ada kemungkinan hal tersebut akan mengantarkan kepada keburukan, dan ada juga kemungkinan takkan mengantarkan kepada keburukan. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Jika suatu referensi menyatakan bahwa para ulama berbeda pendapat (khilafiyah) mengenai Saddudz Dzara-i’, maka maksudnya adalah jenis yang ketiga ini.
Mengenai hal ini, disebutkan dalam Alquran, misalkan kita jelas-jelas diperintahkan hanya menyembah Allah, kita dilarang menyekutukan Allah, ataupun menyembah Allah tapi juga menyembah yang lainnya. Sehingga tuhan-tuhan selain Allah itu harus tidak kita yakini. Tetapi kalau kita mengejek tuhan-tuhan selain Allah yang akibat ejekan itu membuat orang non Islam berbalik mengejek Allah, maka mengejek tuhan mereka itu haram hukumnya. Padahal tidak mempercayai bahkan menolak tuhan selain Allah itu wajib hukumnya.
Sekali lagi, pada yang ketiga itulah sering terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, sedangkan yang pertama dan kedua, para ulama sepakat mengenainya. Tetapi pada banyak buku referensi, bahwa yang pertama dan kedua itu tak pernah dibahas, tetapi yang dibahas itu adalah yang ketiga, yang dalam hal ini tanpa disebutkan mengenai hal tersebut. Sehingga orang yang tidak paham kemudian menganggap bahwa Saddudz Dzara-i’ ini memang tidak layak dijadikan sebagai dalil hukum Islam, karena para ulama berbeda pendapat mengenainya. Padahal, perbedaan para ulama hanyalah pada jenis yang ketiga.
Ada banyak dalil yang dijadikan landasan untuk mengatakan bahwa Saddudz Dzara-i’ yang ketiga tersebut layak juga untuk dijadikan sebagai pegangan, antara lain firman Allah yang artinya :
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Q.S. An-Nuur: 31)
Ayat ini melarang perempuan-perempuan untuk memamerkan perhiasannya. Para ulama memang banyak penafsiran mengenai “ziina (perhiasan)” yang dimaksud. Ada yang mengatakan, bahwa “ziina (perhiasan)” yang dimaksud itu adalah bagian-bagian yang memang tak layak untuk ditampilkan (dipamerkan), termasuk di antaranya adalah aurat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah, yaitu:
“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah benda (perhiasan), dan sebaik-baik benda (perhiasan) adalah wanita (isteri) yang shalehah.” (HR. Muslim)
 Jadi, pengertian “ziina (perhiasan)” dalam ayat tersebut adalah seperti yang dimaksudkan pada sabda Rasulullah tersebut. Sehingga kesimpulannya, ayat tersebut menjelaskan larangan Allah bagi perempuan-perempuan itu untuk memamerkan auratnya, perhiasannya, termasuk juga dalam hal ini adalah perhiasan yang disematkan (emas, perak, dan semacamnya) dan juga perhiasan yang ada pada perempuan seperti kecantikan dan semacamnya. Semuanya haram diperlihatkan (dipamerkan), kecuali kepada suaminya.
Ayat ini menjelaskan bahwa yang haram tersebut adalah memamerkannya. Yang diharamkan tersebut karena akan mengantarkan pada memamerkan “ziina (perhiasan)” yang dimiliki itu. Ayat inilah salah satunya yang dijadikan pegangan oleh para ulama yang menjadikan Saddudz Dzara-i’ itu bagian dari dalil yang bisa dipegangi.
 Termasuk dalil yang juga dipegangi yaitu apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman. Ketika itu terjadi suatu peperangan. Pada peperangan tersebut, banyak ulama yang juga ikut serta. Perangnya itu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Ketika waktu kosong saat Maghrib, mereka berhenti dulu dari peperangan. Sehingga para ulama dan para sahabat yang ikut berperang ketika itu berkumpul untuk mengisi kekosongan sekaligus istirahat. Para sahabat dalam hal ini istirahatnya adalah membaca Alquran. Mereka ketika itu saling membaca dan menyimak.
 Di dalam pasukan Islam ketika itu asalnya dari berbagai tempat: ada yang dari Baghdad, Yaman, Madinah, Mesir, dan daerah lainnya. Mereka membaca bergiliran.
Ketika orang Mesir membaca, ternyata mereka membaca yang tidak pernah didengar oleh orang Madinah. Padahal menurut orang Madinah, ayat tersebut tidak seperti itu bunyi dan cara membacanya. Dari daerah lainnya juga membaca dengan cara yang berbeda. Mereka kemudian saling menyalahkan antara bacaan satu dengan yang lainnya. Karena Alquran itu jika ada yang membaca tidak sesuai dengan bacaan Rasulullah, maka itu dihukum kafir. Sehingga mereka ketika itu nyaris bertengkar dan saling menyalahkan antar sesama muslim, bahkan hampir terjadi perang saudara.
 Ketika itu, Huzaifah ibn Yaman berinisiatif ke Madinah menyampaikan kepada Khalifah Utsman untuk segera menyikapi hal tersebut, karena kalau tidak maka akan hancurlah Umat Islam ketika itu. (Pada masa hidup Rasulullah, perbedaan cara membaca Alquran ini juga pernah terjadi, yaitu antara Umar ibn Khattab dengan Hakam)
 Akhirnya, mereka itu dihadapkan. Ternyata mereka itu betul. Orang dari Baghdad misalkan, mereka itu mengikuti bacaan seperti yang diajarkan oleh Abdullah ibn Mas’ud. Abdullah ibn Mas’ud ini tidak pernah mengarang sendiri bacaannya kecuali mendengar bacaan dari Rasulullah. Yang dari daerah lainnya juga begitu, yaitu sesuai dengan yang diajarkan oleh sahabat Rasulullah yang lain.
 Untuk menengahi hal ini, Khalifah Utsman kemudian menarik Alquran yang dikumpulkam pada masa Khalifah Abu Bakar yang telah tersebar pada para sahabat. Kemudian dikumpulkanlah para Qura’ (penghapal Alquran), dan di bawah komando Said bin Tsabit, Alquran ditulis kembali, yang tulisan itu bisa mencakup seluruh bacaan yang ada. Mushaf ini kemudian dikenal dengan nama Mushaf Utsmani.
 Dalam hal ini, Rasulullah pernah mengatakan, bahwa Alquran itu diturunkan menjadi tujuh huruf. Maksudnya, bahwa Alquran itu diturunkan dengan tujuh macam bacaan.
 Setelah penyusunan Mushaf Utsmani selesai, maka mushaf-mushaf yang lain (selain Mushaf Utsmani) yang telah dikumpulkan dan ditarik peredarannya, kemudian diperintahkan oleh Khalifah Utsman untuk dibakar. Dalam hal ini, apakah ada dalil yang membolehkan membakar Alquran? Ternyata tidak ada dalilnya, tidak juga dianjurkan, bahkan perbuatan tersebut sebenarnya dilarang. Tetapi dalam konteks ini, kalau Alquran tidak dibakar, maka akan mengantarkan pada kondisi terjadinya perbedaan pendapat, bahkan saling mengkafirkan. Sehingga untuk kemaslahatan umat ketika itu, maka dibolehkan untuk membakar Alquran yang dimaksud. Dalam hal ini dalilnya adalah Saddudz Dzara-i’.

C.       Dasar hukum saddudz dzarî'ah



Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:

a. Firman Allah SWT:
Artinya:
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
" (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.

b. Dan firman Allah SWT:

Artinya:
"…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…" (an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

الا وحـمى الله مـعاصيه فمـن حـام حـول الحـمى يوشـك أن يقع فـبه 
Artinya:
"Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

D.      Obyek saddudz dzarî'ah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
  1. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
  2. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
  1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
  2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
  3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).



2.   Dilalah Al-Iqtiran

A.    Pengertian

        Dari aspek bahasa,dilalah artinya petunjuk,sedangkan iqtiran artinya bersama-sama.Adapun menurut istilah, dilalatul iqtiran ialah suatu petunjuk karena ada suatu perkara yang disebut bersama-sama dengan perkara yang lain,maka keduanya atau lebih yang bersama-sama itu diberihukum yang sama pula.
Contoh Dalatul Iqtiran :
”Semp urnakanlah haji dan u mrah karena Allah´”(Al-Baqarah 196)

B. Kehujjahan

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan dan kehujjahan dilalatul iqtiran.Jumhur ulama mengatakan bahwa dilalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah. Alasannya, bersama-samadalam suatu perkara, belum tentu dan tidak harus bersama-sama pula dalam ketetapan hukum.
Sedangkan para imam madzhab, Imam al-Syafi’i, Abu Hanifah, dan Imam Malik berpendapat bahwa dilalatul iqtiran dapat dijadikan hujjah dengan alasan bahwa ‘athaf itumenunjukkan musyarakah (bersama-sama).

 C.Kedudukan Dalalatul Iqtiran sebagai sumber hukum.

  Para ulama berbeda pendapat mengenai dalalatul iqtiran sebagaisumber hukuman.
Sejumlah ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikanhujjah dengan alasan “Sesungguhnya bersama-sama dalam suatu himpunan tidak mesti bersamaan dalamhukum”
Sebagai ulama yang lain dari golongan Hanafiyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyah mengatakan bahwa Dalalatul Iqtiran dapat dijadikan hujjah dengan alasan :
 “Sesungguhnya ‘athaf  itu menghendaki musyarakat”


BAB III : PENUTUP


A.   KESIMPULAN


·         Syaddudz dzari'ah adalah suatu hal yang menjadi perantara dan jalan terhadap suatu perkara
·         Prinsip prinsip syaddudz dzari'ah ada tiga, yaitu :
 Pertama, bahwa Dzara-i’ (perantara) itu memang dipastikan akan mengantarkan pelakunya kepada sesuatu yang haram.
 Kedua, Dzara-i’ (perantara) itu biasanya mengantar kepada keburukan.
 Ketiga, hal tersebut setengah-setengah akan mengantarkan kepada keburukan dan juga takkan mengantarkan kepada keburukan.
·         Dasar hukum syaddudz dzari'ah adalah firman Allah SWT:
Dalam Qs. al-An'âm: 108 dan An-Nûr: 31.
·         Obyek saddudz dzarî'ah : Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
·         Dilalatul iqtiran ialah suatu petunjuk karena ada suatu perkara yang disebut bersama-sama dengan perkara yang lain,maka keduanya atau lebih yang bersama-sama itu diberihukum yang sama pula.
·         Para ulama berbeda pendapat mengenai dalalatul iqtiran sebagaisumber hukuman.




B.   SARAN
Semoga makalah yang kami susun dapat bermanfaat dalam menambah potensi dan gairah baru untuk lebih memahami masalah fiqih.











Daftar pustaka


www. Google.com
http://alizzahfirtibatilummah.blogspot.com
http://kakfarih.blogspot.com



































LATIHAN

I . Berilah tanda silang (x) huruf a,b,c,d, atau e pada jawaban yang benar!
1.      Di bawah ini yang termasuk makna dari dzari’ah adalah...
a.         Jalan dan danau                           d. Sungai dan danau
b.         Sarana dan jalan                           e. Perantara dan sarana
c.         Danau dan jalan
2.      Yang di maksud dengan syari’un adalah...
a.       Sarana syara’                                 d. Ahli-ahli syara
b.      Perantara syara’                             e. Perbuaran sehari-hari
c.       Hukum syara’
3.      Makna dari kalimat “dzari’ati” adalah...
a.       Hukum-hukum                              d. Perbuatan ku
b.      Syarat-syarat                                 e. Perantara ku
c.       Ahli-ahli syara’
4.      Berapakah jumlah prinsip-prinsip syadduz dzara’i...
a.       1                                                    d. 4
b.      2                                                    e. 5
c.       3
5.      Dzara’i (perantara) itu memang di pastikan akan mengantarkan pelakunya kepada suatu yang haram adalah prinsip syadduz dzara’i yang...
a.       Pertama                                         d. Keempat
b.      Kedua                                           e. Kelima
c.       Ketiga
6.      Ayat yang melarang perempuan untuk memamerkan perhiasannya adalah Qur’an Surah...
a.       Al-Maidah : 1-6                            d. An-Nur : 29
b.      Al-Baqarah : 30                             e. Al-Baqarah : 8
c.       An-Nur : 31
7.      Ziyna dapat di artikan sebagai...
a.       Peralatan                                       d. perantara
b.      Perhiasan                                       e. hukum
c.       Benda
8.      Salah satu dasar hukum saddud-dzariah adalah...
a.       Al-An’am : 108                             d. Al-Baqarah : 8
b.      An-Nur : 36                                   e. An-Nur : 2
c.       Al-An’am : 20      
9.      “Dan jangan lah memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan” adalah makna dari Qu’an surah...
a.       Al-An’am : 108                             d. An-Nur : 31
b.      An-Nisa : 108                                e. An-Nur : 30
c.       Al-Maidah : 31
10.  Jumlah objek syadduz dzariah adalah...
a.       1                                                    d. 4
b.      2                                                    e. 5
c.       3
11.  Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan di kerjakannya perbuatan terlarang disebut...
a.       Dzari’ah dhaifah                           d. Dzari’ah miskinah              
b.      Syadduz dzari’ah                         e. Dzari’ah qawiyah
c.       Dzari’ah layyinah
12.  Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan di kerjakannya perbuatan terlarang disebut...
a.       Dzari’ah dhaifah                           d. Dzari’ah miskinah
b.      Syadduz dzari’ah                         e. Dzari’ah qawiyah 
c.       Dzari’ah layyinah
13.  Dialah artinya...
a.       Penglihatan                                   d. Petunjuk
b.      Penampakan                                  e. Cahaya
c.       Hukuman
14.  Iqtiran artinya...
a.       Berdua                                          d. Berharap
b.      Bertiga                                          e. Bersama-sama
c.       Menyendiri
15.  Yang mengatakan bahwa dilalatul iqtiran tidak dapat d jadikan hujjah adalah...
a.       Imam Syafi’i                                 d. Ahli Sunnah Waljama’ah
b.      Ahli Fiqih                                      e. Kiyai
c.       Jumhur Ulama
16.  Yang berpendapat bahwa syadduz dzara’i dapat dijadikan hujjah adalah...
a.       Jumhur ulama                                d. Imam Malik
b.      Ahli fiqih                                       e. Imam Syafi’i
c.       Ushul fiqih
17.  Yang berpendapat bahwa kuda tidak wajib di dzakati sebagai mana keladai adalah...
a.       Jumhur ulama                                d. Imam Malik
b.      Ahli fiqih                                       e. Imam Syafi’i
c.       Ushul fiqih
18.  Ayat yang menjelaskan tentang dilalatul iktiran adalah...
a.       Q.S Al-Baqarah : 6                       d. Q.S An-Nur : 62    
b.      Q.S Al-Baqarah : 9                       e. Q.S An-Nahl : 8
c.       Q.S An-Nahl : 21
19.  Jumhur ulama mengatakan bahwa dilalatul iqtiran...
a.       Dapat di jadikan hujjah
b.      Tidak dapat di jadikan hujjah
c.       Merupakan sumber hukum
d.      Merupakan ushul fiqih
e.       Merupakan perantara syara’
20.  Perhiasan dalam syadduz dzariah di maknai...
a.       Tarikat                                           d. Zakiyah
b.      Amaliyah                                       e. Diyna
c.       Ziyna

II . Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan benar!
1.      Apakah yang di maksud dengan syadduz dzari’ah ?
2.      Sebutkan salah satu dari tiga prinsip syadduz dzari’ah !
3.      Jelasan prinsip syadduz dzari’ah yang pertama !
4.      Jelaskan makna dari Qur’an surah An-Nur : 31 !
5.      Sebutkan objek-objek syadduz dzari’ah !
6.      Apakah yang dimaksud dengan dzari’ah qawiyah ?
7.      Apakah yang di maksud dengan dilalaitul iqtiran ?
8.      Sebutkan pendapat jumhur ulama tentang dilalatul iqtiran !
9.      Jelaskan yang di maksud dengan dzari’ah dha’ifah !
10.  Q.S An-Nahl : 8 adalah penjelasan dari ?

 
KUNCI JWABAN
Bagian I
1.      B               6.   C               11. E                16. D
2.      D               7.   B               12. A               17. A
3.      E                8.   A               13. D               18. E
4.      C               9.   D               14. E                19. B
5.      A               10. B               15. C               20. C
Bagian II
1.      syaddudz dzari'ah adalah suatu hal yang menjadi perantara dan jalan terhadap suatu perkara. dalam hal ini Muhammad Abu Zahrah menjelaskan: "Dzari'ah-dzari'ah itu dalam bahasa ahli-ahli syara' (syar'iyyun) adalah merupakan suatu hal yang dapat menjadi jalan terhadap suatu perkara yang diharamkan atau dihalalkan, kemudian mengambil hukumnya.
2.      Dzara-i’ (perantara) itu biasanya mengantar kepada keburukan. Dalam hal ini pun para ulama tidak berbeda pendapat bahwa hal tersebut hukumnya adalah haram. Diperkirakan di atas 50% hal tersebut akan mengantarkan seseorang menjadi pelaku haram.
3.      Pertama, bahwa Dzara-i’ (perantara) itu memang dipastikan akan mengantarkan pelakunya kepada sesuatu yang haram. Maka dalam hal ini, para ulama tidak berbeda pendapat, sehingga hukumnya memang haram.
4.      "…Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan…"

5.       Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

6.      Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

7.      dilalatul iqtiran ialah suatu petunjuk karena ada suatu perkara yang disebut bersama-sama dengan perkara yang lain,maka keduanya atau lebih yang bersama-sama itu diberihukum yang sama pula.

8.    Jumhur ulama mengatakan bahwa dilalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah. Alasannya, bersama-samadalam suatu perkara, belum tentu dan tidak harus bersama-sama pula dalam ketetapan hukum.

9.    Jumhur ulama mengatakan bahwa dilalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah. Alasannya, bersama-samadalam suatu perkara, belum tentu dan tidak harus bersama-sama pula dalam ketetapan hukum.

10.  Dilalatul iqtiran.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Soal Fiqih - BAB Diat

MAKALH LENGKAP USHUL FIQIH- AMAR DAN NAHI- ‘AM DAN KHAS - MUTLAQ DAN MUQAYYAD - MANTUQ DAN MAFHUM - MUJMAL DAN MUBAYYAN - MURADIF DAN MUSYTARAK - NASIKH DAN MANSUKH