TRADISI BERCOCOK TANAM SUKU MELAYU-BUGIS DI SUNGAI KAKAP
MAKALAH ISLAM DAN BUDAYA LOKAL
TRADISI BERCOCOK TANAM SUKU MELAYU-BUGIS DI SUNGAI KAKAP
DOSEN PENGAMPU
Prof. Dr.Moh. Haitami Salim, M.Ag/ Didi Darmadi, S.Pd.I, M.Lett
DISUSUN OLEH :
Indah Dwi Apriani
(1131210005)
FAKULTAS TARBIYAH DAN
ILMU KEGURUAN (FTIK)
JURUSAN : PENDIDIKAN BAHASA ARAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
PONTIANAK
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami
sehingga penulis berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat
pada waktunya yang berjudul “Tradisi
Bercocok Tanam Suku Melayu Bugis Di Sungai Kakap”. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliahIslam dan Budaya Lokal dalam pembelajaran lebih lanjut dan
merupakan bentuk tanggung jawab nyata penulis terhadap tugas yang telah di
berikan.
Pada kesempatan inilah penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr.Moh. Haitami Salim, M.Ag/ Bapak Didi Darmadi, S.Pd.I, M.Lettselaku dosen mata kuliah Islam dan Budaya Lokal,serta semua pihak yang telah membantu atas terselesaikan
nya makalah ini. Walaupun kenyataannya
penulis menemukan beberapa kendala, diantaranya minimnya pengetahuan penulis
mengenai tema makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
selalu penulis harapkan demi kesempurnaan makalah ini.Saya berharap dibalik
adanya makalah yang kurang sempurna ini, tersimpan manfaat atau hikmah yang
dapat di petik untuk dijadikan pembelajaran hidup bagi penulis dan pembaca.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Amin.
Pontianak
24 Mei 2016
Penulis
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ajaran-ajaran Islam yang penuh dengan kemaslahatan bagi manusia, yang
tentunya mencakup segala aspek kehidupan. Tidak ada satupun bentuk kegiatan
yang dilakukan manusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam
ajaran Islam ini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi penting dari kehidupan
manusia, dan Islampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.
Budaya
merupakan identitas bangsa yang harus dihormati dan dijaga dengan baik oleh
para penerus bangsa.Indonesia sebagai
negara multikultural, telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa
Indonesia dalam mendefinisikan apa yang disebut kebudayaan bangsa.
Tidak ada satu agama pun yang bebas dari tradisi panjang yang
dihasilkan oleh bangsa atau masyarakat yang warganya menjadi pemeluknya. Baik
kehidupan agama maupun kehidupan budaya, keduanya berasal dari sumber yang
sama, yaitu merupakan potensi fitrah manusia, tumbuh dan berkembang secara
terpadu bersama-sama dalam proses kehidupan manusia secara nyata di muka bumi
dan secara bersama pula menyusun suatu sistem budaya dan peradaban suatu
masyarakat.
Penulis disini akan mengenalkan salah satu dari sekian banyak
budaya yang ada di Indonesia, yaitu Tradisi
Bercocok Tanam Suku Melayu Bugis Di Sungai Kakap.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Budaya Lokal ?
2. Bagaiman pandangan islam mengenai kebudayaan dan adat istiadat ?
3. Apa yang dimaksud dengan Bercocok Tanam ?
4. Bagaimanpelaksanaan trdisi bercocok tanam masyarakat Sungai Kakap ?
5. Apa yang dimaksud dengan suku Melayu Bugis ?
6. Bagaiman pandangan penulis mengenai tardisi bercocok tanam masyarakat
Sungai Kakap ?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan umum dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengetahui apaApa itu Budaya Lokal, Bagaiman
pandangan islam mengenai kebudayaan dan adat istiadat, Apa yang dimaksud dengan
Bercocok Tanam, Bagaimanpelaksanaan trdisi bercocok tanam masyarakat Sungai Kakap,
Apa yang dimaksud dengan suku Melayu Bugis, dan bagaiman pandangan penulis
mengenai tardisi bercocok tanam masyarakat Sungai Kakap.
II
PEMBAHASAN
1.
ISLAM
DAN BUDAYA LOKAL
A.
Pengertian
Budaya Lokal
Kata kebudayaan
berasal dari kata Sanskerta, budhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi
yang berarti budi atau akal. Demikianlah kebudayaan itu dapat diartikan
“hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Ada pendapat yang mengatakan makna
budaya dan kebudayaan itu berbeda. Budaya itu daya dari budi yang berupa cipta,
karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan itu segala hasil dari cipta, karsa dan
rasa. Dalam kata antropologi budaya, tidak diadakan perbedaan arti antara
budaya dan kebudayaan. Di sini kata budaya hanya dipakai untuk singkatannya
saja, untuk menyingkat kata panjang antropologi kebudayaan.
Adapun kata culture
(bahasa Inggris) yang artinya sama dengan kebudayaan, yang berasal dari kata
Latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah
atau bertani. Dari arti ini berkembang arti culture, sebagai segala daya
dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Budaya lokal adalah nilai-nilai
lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan
diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke waktu. Budaya lokal dapat berupa
hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum adat.
B. Ciri-Ciri
Kebudayaan
Berikut
merupakan ciri-ciri dari kebudayaan :
a.
Senantiasa berubah
Kebudayaan
itu bersifat dinamis, selalu berubah sesuai dengan perkembangan situasi atau
zaman yang membingkainya.
b.
Tingkahlaku yang dipelajari
Kebudayaan
sangat mempengaruhi pembentukan manusia.Anggota masyarakat terus melakukan
proses belajar, misalnya dari orang tua, teman, lingkungan sekolah, lembaga
keagamaan, dan sebagainya.
c.
Pola tingkah laku yang dipelajari
Bahwa
tingkah laku yang dipelajari mempunyai hubungan di antara unsur-unsur pola
tersebut.
d.
Hasil dari tingkah laku yang
dipelajari
Ide dari
seseorang merupakan hasil dari apa yang ia pelajari orang atau kelompok yang
lain. Ada tiga wujud hasil kebudayaan yang dipalajari, yaitu menyangkut
nilai-nilai, gagasan-gagasan, norma dan sebagainya; kompleks tindakan-tindakan
berpola; dan pengetahuan untuk menghasilkan benda-benda hasil karya manusia.
e.
Dibagi oleh anggota masyarakat
Tingkah laku
yang dipelajari itu hasil-hasilnya tidak milik seseorang atau kelompok
tertentu. Ia merupakan milik masyarakat secara menyeluruh. Nilai dan sikap itu
dipelajari dari masyarakat.
f.
Dialihkan para anggota
Tingkah laku
yang dipelajari dialihkan atau ditularkan dari satu generasi berikutnya melalui
bermacam-macam cara, misalnya melalui tulisan di tembok atau prasasti, dan
sebagainya.
C.
Pandangan
Islam terhadap Budaya
Dalam islam, budaya dikenal dengan
istilah ‘urf yaitu secara etimologi berarti suatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat.
Islam merupakan agama yang
diturunkan kepada umat manusia melalui perantara Rasulullah, Muhammad saw. Di
dalamnya tidak sekadar mengatur satu sisi kehidupan manusia, tetapi seluruh
aspek kehidupan tidak luput dari aturan syari’at-Nya. Dalam kaidah ushul fiqih
disebutkan yang artinya, “Hukum wasilah (jalan yang menuju), serupah dengan
hukum tujuan”. Kaidah tersebut menunjukkan bahwa perkara (jalan) yang membawa
pada sebuah tujuan yang tujuan tersebut menuju pada kebaikan, maka jalan yang
ditempuh itu merupakan kebaikan. Dan jika jalan yang ditempuh untuk mencapai
tujuan yang menuju keburukan maka hal itu jelas buruk pula hukumnya.
Seperti itulah Islam memandang
kebudayaan. Karena kebudayaan itu adalah hasil usaha dan ikhtiyar manusia, maka
Islam memandangnya biasa dan sama saja dengan hal-hal yang lain, yaitu takluk
pada hukum baik-buruk: Ada kebudayaan dan kesenian yang baik; Ada kebudayaan
dan kesenian yang buruk. Namun perlu digaris bawahi, yang menjadi patokan dalam
menilai baik buruknya suatu kebudayaan ialah agama, yakni Al-Qur’an dan Hadist.
Bukan semata-mata akal manusia.
Apabila dasar baik buruknya
kebudayaan tertentu tidak ada dalam nash, dasarnya kemudian diqiyaskan
kepada nash yang berkaitan dengan kebudayaan tersebut atau menggunakan dasar maslahah.
Secara spesifik, Islam memandang budaya lokal yang ditemuinya dapat dipilah
menjadi tiga: Menerima dan mengembangkan budaya yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam dan berguna bagi pemuliaan kehidupan umat manusia.
Misalnya, tradisi belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ditemui pada
bangsa Persia dan Yunani. Para khalifah Muslimin bahkan mendorong ilmuwan untuk
menggalakkan penelitian dan penemuan baru. Menolak tradisi dan unsur-unsur
budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Sebagai contoh,
kebiasaan minum khamar dan beristri banyak (lebih dari empat) pada bangsa Arab
dan berbagai bangsa lain. Membiarkan saja, seperti cara berpakaian. Yang
penting di sini adalah bahwa prinsip-prinsip dasar Islam tidak dilanggar.
Dalam surah
al-A’raf: 199 yang berbunyi:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
الأعراف: 199
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam
ayat di atas adalah tradisi yang baik.
2.
BERCOCOK
TANAM
A.
Pengertian
Tradisi Bercocok Tanam
Tradisi (bahasa
latin Traditio, artinya diteruskan). Menurut artian bahasa, tradisi adalah
suatu kebiasaan, atau yang di asimilasikan dengan ritual adat agama. Dalam
pengertian lain, tradisi adalah suatu yang dilakukan sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat yang biasanya berlaku secara
turun temurun baik melalui informasi lisan berupa cerita, atau berupa tulisan
atau catatan yang terdapat di kitab-kitab kuno.
Bercocok tanam
berarti mengusahakan sawa ladang (tanam-tanaman). Bercocok tanam adalah menanam
sesuatu yang bisa hidup yang disesuaikan dengan daerah, kondisi, dan lingkungan
serta keadaan sehingga dapat menghasilkan sesuatu yang menguntungkan minimal
bagi pribadi yang menanam.
Jadi penulis
mengambil kesimpulan bahwa tradisi bercocok tanam ialah kegiatan mengusahakan
tanaman di sawah yang mana kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang
diwariskan secara turun-temurun turun temurun dari nenek moyang hingga ke anak
cucu.
B.
Tradisi
Bercocok Tanam Suku Melayu Bugis Di Sungai Kakap
Didesa Jeruju Besar
Kecamatan Sungai Kakap, mayoritas penghuninya adalah suku Bugis yang telah
bercampur dengan suku melayu, sehingga bahasa yang digunakan sehari-hari adalah
bahasa Melayu Pontianak. Tidak heran banyak anak-anak suku Bugis tidak bisa
berbahasa bugis, hal ini terjadi karena orang tua tidak membiasakan berbahasa
bugis saat bercakap atau berbicara dalam keluarga.
Narasumber yang
penulis pilih disini adalah dua orang suami istri. Sang suami bersuku Bugis dan
istri bersuku Melayu. Alhasil, anak dari pasangan suami istri ini tidak pandai
bercakap bugis, yaitu saya sendiri. Ya, suami istri yang saya wawancarai
merupakan orang tua saya. J
Berikut merupakan hasil dari wawancara dari narasumber :
a.
Tahapan-Tahapan
Bercocok Tanam
1)
Pemilihan
Bibit ( Memilih Benih )
a)
Pilih
bibit padi yang baik yaitu bibit padi lokal. Padi lokal adalah padi yang
berbuah kurang lebih selama 5-7 bulan.
b)
Bibit
padi lokal tersebut di rendam selama kurang lebih 2 hari, hingga berkecambah.
Kemudian di tiriskan.
2)
Persiapan
Tanah
a)
Tanah
di tebas rumput nya
b)
Memilih
tanah harus tanah kering namun tidak keras
3)
Persemaian
(Nyemai)
Nyemai
adalah kegiatan menanam padi, memasukan bibit kedalam tanah. Adapun tahapan nya
:
a)
Tanah
di tugal dengan alat tugal. Penugalan haruslah rapat
b)
Bibit
dimasukan kedalam tanah. Memasukan nya tidak boleh terlalu sedikit, dan juga
tidak boleh terlalu banyak, karena khawatir setelah tumbuh nanti tanaman akan
berebut menyerap makanan.
c)
Tanah
harus ditutup lagi. Biasanya masyarakat menutupnya dengan menggunakan tumit,
namun ada juga yang menggunakan tiugal. Menutup tidak boleh terlalu padat
karena khawatir padi tidak akan bisa tumbuh. Bibit tidak boleh bertaburan dan
kelihatan. Jika hal itu terjadi maka kemungkinan besar bibit akan digali oleh
binatang seperti tikus dan burung dan ayam.
Saat
mulai menyemai, haruslah dilakukan serentak atau bersama-sama
dengan para petani lain. Jangan sampai lebih dulu, ataupun lebih lambat. Karna
akan banyak mengundang hama seperti tikus dan burung pipit, maka padi akan
rusak total.
Menurut
kepercayaan adat setempat dikhawatirkan akan datang “bala’ seribu”, yaitu
penyerangan hama dalam satu malam yang dapat menghabiskan tanaman padi dengan
luas tanah yang berektar-hektar. Batang padi akan patah dan bagian atas nya
hancur, serta buah padi habis bersih tanpa sisa. Masyarakat beranggapan buah
padi tersebut dibawa oleh ribuan tikus
kesarang nya. Bahkan ada yang mempercayai yang menyerang adalah “tikus
berantu”.
Khusus bagi petani yang
menyemai di tanah yang basah, lembut dan berendam, maka proses penyemaian
dilakukan di tanah lumpur dengan cara disamer. Berikut langka-langkahnya
:
a)
Tanah
di gali dari dalam sungai kecil karna setiap kebun ada sungai kecilnya.
Kemudian tana diratakan dengan tangan.
b)
Bibit
yang berkecambah dan sudah ditiriskan di taburi pada tanah lumpur tadi.
c)
Kemudian
tutup dengan menggunakan daun pisang.
d)
Sekitar
2 minggu kemudian tanaman padi akan tumbuh. Maka tanaman tersebut di pindahkan
ke tanah sawah, yaitu dengan memotong tanah lumpur yang sudah mengeras
bersamaan dengan tanaman padinya. Kegiatan ini di sebut dipece’.
4)
Betanam
Setelah
bibit yang ditanam tumbuh, sekitar 1 – 2 bulan dari penanaman bibit padi, maka dipindahkan lagi ke tanah yang berbeda.
Adapun tahapan nya sebagai berikut :
a)
Tanaman
yang sudah tumbuh di cabut, kemudian di potong bagian atas nya kira-kira 1/3
agar kelak tanaman saat di panen tidak terlalu tinggi.
b)
Di
tanam kembali ke tanah lapang yang telah di tugal. Penugalan harus di beri
jarak. Jangan terlalu rapat.
5)
Pemeliharaan
a)
Setelah
tanaman di pindah, sekitar 1 bulan dari pemindahan tanaman padi di beri pupuk
urea ( pupuk putih ) untuk batang dan daun.
b)
Rumput
gulma (anak-anak rumput) dicabut menggunakan parang. Proses ini di sebut
merumput.
Namun
karna sekarang zaman semakin modern, ada juga yang mrenggunakan racun khusus (
Indomin) yang di seprot kan di selah-selah tanaman padi. Maka rumput nya akan
mati. Namun racun ini tidak berbahaya untuk padi. Padi tidak akan mati jika
terkena racun ini, buahnya kelak juga tidak akan beracun.dan anehnya, rumput
yang bentuknya sama atau menyerupai padi, juga tidak akan mati. Masyarakat
menamai rumput tersebut sebagai “Rumpot Padi-padi”.
c)
Jika
petani melihat ada gejala hama menyerang, seperti hama wereng, maka tanaman
padi di semprot lagi. Jika sebelumnya menyemprot rumput di celah-celah tanaman
padi, maka kali ini yang disemprot adalah tanaman padinya. Dan pastinya
menggunakan racun aman untuk padi dan kesehatan, seperti Spontan, Reagen,
Mentarin dll.
d)
Pada
usia sekitar 4-5 bulan, tanaman padi akan “bunting”, nah sebelum masa bunting,
tanaman padi harus ditaburi pupuk buah buahnya sehat, berisi dan tidak “kelemping”.
e)
Kemudian
tanaman padi akan berbunga, pada masa inilah kemungkinan besar hama-ama akan
datang menyerang, seperti hama empangau, belalang, kupu-kupu padi,
dan walang sangit dll. Para petani harus lebih pintar. Nah, petani harus
menyiapkan racun hama.
f)
Saat
gejala penyerangan muncul, maka semprot lah tanaman padi dengan racun ama yang
tela disiapkan. Adapun gejala yang biasa terjadi yaitu seperti daun padi rusak,
putik buah menghitam seperti gosong, dan kelemping (biji padi tidak
berisi).
g)
Setelah
itu, sekitar 40 hari kemudian padi akan masak dan siap di panen.
6)
Memanen
Padi (Ngetam)
Sudah menjadi adat, mengetam padi dilakukan bersama-sama dan
berbalas-balas.bantuan tenaga dibayar dengan tenaga pula. Mereka menyebutnya “belale’/
ngetam keliling”. Jika si A menolong si B sebanyak 5 hari, maka si B juga
akan menolong si A sebanyak 5 hari pula.
Adapun warga yang tidak ikut serta dalam belale’ akan
mencari orang yang mau diupah untuk mengetam dengan bayaran 25000/pagi
yaitu dari jam 06.00-10.00 pagi. Para pengambil upah/ buruh dibuatkan sarapan
pagi dan minuman. Ada yang membuat nasi beserta lauk pauk, namun ada juga yang
membuat ketupat. Dengan minuman air putih beserta kopi.
Selesai memanen padi disebut “kembang ngetam”. Setelah padi
selesai di panen, maka di pijak / direse’ guna memisahkan antara padi dengan
tangkai-tangkainya. Namun ada juga yang menggunakan mesin perontok padi.
Kemudian padi dijemur selama kurang lebih 3 hari di panas yang
terik. Kemudian didinginkan atau di diamkan di rumah selama1 atau 2 hari agar
saat padi di kupas oleh mesin berasnya tidak terpotong-potong dan hancur.
Adapun warga yang lebih dulu selesai panen, maka membagikan beras
kepada para tetangga yang belum selesai memanen. Membagikan beras tersebut
dengan semanis hati (seikhlasnya) dengan maksud berbagi rasa beras yang baru.
C.
Alat-Alat
Bercocok Tanam
Parang panjang : Untuk Menyingkitkan rumput
(www.knifecenter.com)
Ketam : Untuk mengetam padi (archive.kaskus.co.id)
Cangkul : Meninggikan Tanah
Semprot : Membasmi hama (gayuel13.blogspot.com)
Penangkin : Tempat tangkai padi terbuat dari anyaman bambu
Karung : Untuk menyimpan padi-padi yang
telah dipanen
Aret :
Untuk membersihkan rumput (www.karawanginfo.com)
Topi :
Melindungi dari panas(infowisata01.blogspot.com)
Sarung Tangan :
Melindungi tangan (www.tokootomotif.com)
Sepatu boot karet :
Melindungi kaki (www. Sepatubootsafety.com)
Parang pendek :
Membersihkan rumput/ tumbuhan penghalang
(www.sepuh-crafts.com)
Kapak
: Menyingkirkan tumbuhan penghalang
(htn-alatpertanian.blogspot.com)
D.
Bugis
di Kalimantan Barat
Bugis adalah
suku yang tergolong kedalam suku-suku melayu Deutero. Masuk ke nusantara
setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata Bugis
berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan ugi merujuk kepada
raja pertama kerajaan cina yang terdapat di Pammana, kabupaten Wajo saat ini,
yaitu La Sattumpugi.
Bugis merupakan
kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Ciri utama kelompok etnik
ini adalah bahasa dan adat-istiadat. Masuknya suku bugis dikalimantan barat
bermula dari kedatangan daeng nataku yang menikah dengan ratu malaya, salahsatu
anak pangeran agung dari kerajaan sukadana. Daeng mataku ini pernah membantu
menyerang istana Sultan Zainuddin pada tahun 1710 atas suruhan pangeran Agung,
saudara kandung Zainuddin. Karena jasanya ituDaeng Mataku diangkat menjadi
panglima. Atas permintaan sultan zainuddin untuk mengatasi perang saudara
dikerajaannya, kemudian datang pula Upu Daeng Merewah, Upu Daeng Perani, Upu
Daeng Cela’, Upu Daeng Kemasih. Mereka berhasil menangani perang tersebut.
Upu Daeng
Manambon kemudian digelari Pangeran Emas
Surya Negara dan menikahi putri kesumba, anak sultan Zainuddin dengan Utin
Indrawati dari kerajaan mempawah. Untuk mengenang kedatangan Daeng Manambon ke
mempawah, hingga kini masyarakat Mempawah mengadakan robo’-robo’.
Penyebaran suku
Bugis di seluruh tanah air disebabkan mata pencaharian orang-orang Bugis
umumnya adalah nelayan dan pedagang serta bertani.
Dalam
perkembangannya, orang Bugis kini tersebar keseluruh wilayah Kal-Bar dan
membaur dengan etnis lainya terutama melayu. Di Pontianak banyak suku Bugis
terdapat di segedong, Teluk Pak Kedai, Batu Ampar, dan Sungai kakap serta
beberapa daerah lainnya di Pontianak.
Orang-orang
suku Bugis terkenal dengan orang yang pekerja keras dan ulet, serta masih
memegang teguh adat dan tradisi mereka. Disungai kakap, mereka masih
melaksanakan upacara adat ritual kelahiran, kematian, khatmul Qur’an, naik
rumah baru, dan beberapa adat lainnya.
E.
Tradisi
Manre Sipulung
Manre sipulung berasal
dari bahasa bugis, “Manre” berarti makan, dan “Sipulung” berarti
bersama. Jadi Manre Sipulung adalah tradisi makan bersama-sama.Manre sipulung
adalah wujud rasa syukur kepada dewa atas nikmat yang di berikan selama ini, serta
mempererat tali silaturahmi antar warga. Namun karna sudah tercampur dengan
bahasa melayu, maka orang-orang sekitar menyebutnya dengan Makan Sipulung.
Ketika kita
dengar sepintas, makan bersama-sama adalah hal yang biasa dan umum.Namun
dikalangan suku Bugis, Manre Sipulung sangat istimewa dan bernilai.Sebenarnya,
manre sipulung adalah kegiatan yang bagus, namun banyak warga yang meninggalkan
karena ada unsur syirik, yaitu ada terdapat pemujaan dan kepercayaan terhadap
dewa-dewi serta para jin dan berharap kepada selain Allah.
Pada adat ini,
ada satu tempat yang disucikan. Pada
hari yang telah ditentukan, masyarakat
akan membawa makanan masing-masing seperti ketupat beserta lauk pauknya.
Kemudian berkumpullah mereka di tempat yang telah ditentukan
Sebelum nya
telah dibuat anca’. Yaitu sebuah tempat hidangan yang terbuat dari daun
kelapa yang masih muda, dan bisa di gantung. Adapun hidangan nya yaitu pulut/
ketan 4 warna. Kemudian nasi ketan di bentuk meninggi (seperti nasi tumpeng,
lalu pada puncak di beri telur rebus yang di masukan separuhnya kedalam nasi
ketan tersebut. Kemudian disisi nya di beri ayam panggang 1 ekor, yang masih
terdapat hadi dan empedal didalam nya. Anca’ harus di buat oleh orang khusus.
Karena tidak sembarang orang bisa membuatnya. Kemudian digantunglah pada pokok
kayuyang dipili pawang adat.
Adat dimulai
dengan sang pawang atau tetua adat membacakan mantra-mantra. Mantra ini berisi
rasa syukur kepada nikmat yang dirasakan warga selama ini. Isi acara pada makan
sipulung ini adalah ceramah sang tetua adat mengenai pantang larang saat
akan musim bercocok tanam padi. Yaitu kapan harus di turunkan benih/
bibit padi, jenis padi yang akan ditanam..
Adapun
larangan-larangan yang di tentukan adalah
sebagai berikut, mulai dari jatuhkan benih/bibit padi hingga selesai
panen.
·
Dilarang
berkelahi dikampung
·
Dilarang
makan sambil berjalan
·
Dilarang
menebang pohon-pohon besar
·
Dilarang
menyeret kayu disawah
·
Dilarang
makan menghadap perapian / tungku
·
Dilarang
memanen padi saat hari hujan
·
Dilarang
memukul hadrah (rabana/betar/gendang)
·
Dilarang
berdua-duan sepasang kekasih
Adapun
bagi orang yang melanggar maka akan dikenai hukuman. Hukuman tersebut
ditentukan oleh sang pawang/ tetua adat. Biasanya hukuman ringan adalah membawa
nasi 4 kilo ketan beserta 1 ayam panggang ke masjid untuk dimakan bersama-sama.
Dan yang berat adalah dihukum dengan perintah membuat sebuah jembatan besar
dari kayu belian. Dan hukuman ini benar-benar berlaku.
Al-kisah hiduplah seorang laki-laki tampan dan wanita cantik. Sebutlah
mreka si Mera dan si Meri (Bukan nama asli). Saat aturan sudah di tentukan oleh
pawang, malah mereka dengan beraninya melanggar aturan. Duduk berdua-duaan,
namun aksi mereka ketahuan oleh warga. Maka dibawalah kedua pasangan itu kepada
tetua adat. Dan dihukumlah mereka dengan membuat jembatan umum dari kayu
belian. Sampai hari ini mereka masih hidup sebagai saksi berlakunya hukuman
dari tetua adat tersebut.J
Setela selesai acara tersebut, masyarakat boleh mengambil hidangan
yang digantung tadi, namun tentunya atas ijin dari pawang adat. Jika pawang
tidak berkenan, maka orang tersebut tidak boleh mengambilnya..
Pemilian Bibit (Benih)
Pemilihan benih dilakukan ½ sebelum penyemaian. Maka diadakan la
sebua acara. Di panggil orang-orang, lalu di letakan 10 jenis benih
(sedikit-sedikit). Kemudian dibacakan barzanji
lalu benih yang di letakan tadi di olesi dengan minyak bau’ dan
dilanjutkan dengan membakar dupa didalam tempat bara’ yang biasa terbuat
dari piring atau mangkok aluminium agar tidak terbakar. Tempat bara’ di
beri abu, lalu dibakarlah dupa (sejenis stanggi namun baunya luar biasa harum).
Ada juga yang didiringi dengan membakar kemenyan (tergantung dari tetua adat).
Kemudian dilanjutkan dengan makan-makan. Adapun makanan dan minuman
yang diidangkan tidak di tentukan, dengan kata lain tuan rumah bebas memberi
hidangan apasaja untuk tamu.Peserta nya pun tidak harus ramai, berdua saja juga
bisa.
Perawatan padi
Pada zaman dulu, masyarakat tidak ada yang menggunakan racun hama
dll. Jika padi mulai rusak. Maka di panggillah tetua adat yang diminta untuk
mengobati padi tersebut. Dan hebatnya, kerusakan padi tersebut benar-benar bisa
diatasi.
Saat padi sudah bunting dan mau berbuah, maka diadakan lah kegiatan
ngepi’. Yaitu membuat semacam ramuan yang bahan-bahan nya terdiri dari jeringau,
banglai, gadung mabok, peno’-peno’.
Semua bahan-bahan di haluskan dengan cara ditumbuk jadi satu.
Kemudian di beri air penawar sekitar 1 ember saja, dan setelah itu dibacakan
mantra-mantra. Lalu air tersebut di percikan (tidak merata sebenarnya) ke
tanaman-tanaman padi dengan menggunakan kuas khusus, yaitu dengan menggabungkan
daun juang/lontardengandaun semandeng, diikat jadi satu. Adapun
alat yang digunakan untuk mengikat yaitu daun ribu-ribu.
Selama proses ngepi’, bila ada orang yang lewat kesawah,
jangan ditegur. Terus terang penulis juga tidak tahu alasannya. Ngepi’
dilakukan sebanyak 3kali.
Ngepi’ terakhir
dilakukan dengan hajat agar buah terisi penuh. Bahan-bahan yang digunakan sama
dengan sebelunya, hanya saja di tambah dengan bubur nasi kedalam ramuan
tersebut. Dan proses melakukan nya juga sama.
Waktu untuk mulai betanamjuga di pilih oleh sang pawang,
semua petani mulai pada bulan yang sama yaitu bulan yang di pilih pawang, namun
pada hari yang berbeda-beda, karena pada saat betanam masyarakat harus
memanggil pawang untuk memulaikan.
Kemudian masyarakat juga mengenal istilah matikan betanam.
Yaitu pada bulan tertentu sudah tidak boleh ada yang masih betanam.
Dengan kata lain sebelum sang tetua adat menentukan batas waktu betanam,
maka warga harus segera menyelesaikan tanaman mereka.Matikan betanam di
tentukan sendiri oleh pawang dan di umumkan dari mulut kemulut tanpa warga
harus berkumpul.
Mengetam Padi
Memanen padi
dimulai pada bulan yang telah ditentukan oleh sang pawang/tetua adat. Tetua
adat memberi pengumuman bahwa pemanenan sudah boleh dimulai. Para petani
mengundang tetua adat untuk memulaikan pemanenan.
Maka datang lah
sang pawang dan memulaikan pemanenan dengan ritual yaitu :
Batang
mali-mali di lematkan/
ditancapkedalam tanah sekitar padi yang akan di panen, kemudian beberapa rumpun
padi di rangkul dan diikatkan ke batang mali-mali tadidengan menggunakan tali
baro’. Lalu di petik lah kurang lebih 7 tangkai padi, kemudian dimasukan
kedalam bakol tinggi khusus dan di oles dengan minyak bau’. Kemudian
dibacakan lah mantra-mantra oleh sang tetua adat. Mantra tersebut bertujuan
memanggil semangat padi.
Kemudian yang kurang
lebih 7 tangkai tadi dibungkus dengan kain
berwarna kuning, lalu diikat dengan 4 warna yang telah di pintal menjadi
satu ( benang merah, benang itam, benang putih, dan benang kuning). Alat memanen
padi yang dinamakan ketamjuga di oles minyak bau’ oleh sang tetua
adat.
Rumpun yang
diikat di batang mali-mali nya. Dan tadi tidak boleh di ganggu hingga selesai
memanen. Setela seluruh padi disawah selesai di panen, barulah rumpun yang tadi
diikat boleh di panen buahnya dan di jadikan satu dengan padi 7 tangkai yang
disimpan kedalam bakol sebelumnya.
Masyarakat
percaya bahwa asal usul padi adalah dari orang yang bertapa. Maka semangat padi
perlu di panggil agar padinya menjadi berkat.
Komentar Penulis
Itulah tadi
sedikit tentang tradisi manre sipulung. Namun yang perlu diingat,
hal-hal diatas hayalah sepengetahuan sang narasumber. Narasumber juga tidak
mengetahui secara detail adat tersebut seperti bacaan-bacaan matera dll.
Hal ini dikarenakan narasumber bukan lah
pengamal dari adat istiadat tersebut. Melainkan pemberantas. Karena ayah dari
narasumber juga termasuk orang berpengaruh didesa. Namun saat ayah narasumber
jatuh sakit, sang anak (Narasumber) tidak mau melanjutkan adat tersebut karena narasumber
beranggapan hal itu menyimpang dari ajaran Allah.
Menurut
penulis, sebenarnya tradisi makan bersamanya baik karena bisa mempererat
silaturahmi, dan pantangan-pantangan dari pawang juga baik karena sejalan
dengan ajaran agama Islam seperti dilarangnya berduaan (yang bukan muhrim),
makan sambil berjalan, berkelahi (masuk kepada akhlak). Namun yang disayangkan
karena dalam rangkaian acara ada pembacaan mantera-mantera dan meminta bantuan
jin-jin, nah disitulah letak ketidak setujuan Narasumber. Itu bisa menjurus
kearah syirik, karena berharap kepada sesuatu selain Allah.
Identitas Narasumber :
Narasumber 1
Nama :
Ahmad Fandi
TTL :
11 Desember 1964
Alamat : Jeruju Besar
kecamatan Sungai kakap
Suku
: Bugis
Narasumber
2
Nama :
Kartini
TTL :
7 Juli 1976
Alamat
: Jeruju Besar
kecamatan
Sungai kakap
Suku
: Melayu
Pertanyaan Wawancara :
Berikut
adalah pertanyaan yang diajukan saat wawancara, dan jawaban secara ringkas nya.
karena penjelasan panjang lebarnya sudah penulis lampirkan di makalah.
1.
Bagaimana
masyarakat melakukan kegiatan bercocok tanam di sungai kakap ?
-
Dilakukan
dengan bersama-sama pada bulan yang ditentukan
2.
Apa
saja tahapan-tahapan yang perlu dilakukan saat akan mulai bercocok tanam ?
-
Pemilihan
bibit
-
Persiapan
tanah
-
Nyemai
-
Betanam
-
Pemeliharaan
-
Ngetam
3.
Apa
saja alat yang diperlukan saat menamam padi ?
-
Parang
-
Ketam
-
Tugal
-
Cangkul
-
Semprot
-
Penangkin
-
Karung
-
Aret
-
Topi
-
Sarung
Tangan
-
Sepatu
boot karet
-
Parang
pendek
-
Kapak
4.
Selain
tradisi bercocok tanam yang secara umum, apakah ada tradisi saat bercocok tanam
yang kental dengan adat istiadat ?
Ada.
Masyarakat menyebutnya dengan istila Manre Sifulung (Makan bersama)
5.
Siapa
saja yang berperan dalam menjalankan tradisi tersebut ?
Seluruh
masyarakat kampung
6.
Apa
itu bibit padi lokal ?
Bibit
yang hidupnya sekitar 5-7 bulan
7.
Mengapa
harus menanam padi lokal ?
Karena
tanamannya tidak terlalu tinggi dan beras nya sedang, tidak keras, dan tidak
lembut.
8.
Bagaimana
kalau tanah yang akan ditanami merupakan tahan yang rendah dan berendam ?
Maka
dilakukanlah proses penyameran
Foto Sawah bapak Ahmad fandi dan ibu Kartini :
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
v Budaya lokal adalah nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah
yang terbentuk secara alami dan diperoleh melalui proses belajar dari waktu ke
waktu. Budaya lokal dapat berupa hasil seni, tradisi, pola pikir, atau hukum
adat.
v Dalam islam, budaya dikenal dengan
istilah ‘urf yaitu secara etimologi berarti suatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat.
Dalam surah al-A’raf: 199 yang berbunyi:
v خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
الأعراف:199
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
v Bercocok tanam berarti mengusahakan sawa ladang (tanam-tanaman).
Bercocok tanam adalah menanam sesuatu yang bisa hidup yang disesuaikan dengan
daerah, kondisi, dan lingkungan serta keadaan sehingga dapat menghasilkan
sesuatu yang menguntungkan minimal bagi pribadi yang menanam
v Manre sipulung berasal dari bahasa bugis, “Manre” berarti
makan, dan “Sipulung” berarti bersama. Jadi Manre Sipulung adalah
tradisi makan bersama-sama. Manre sipulung adalah wujud rasa syukur kepada dewa
atas nikmat yang di berikan selama ini, serta mempererat tali silaturahmi antar
warga.
Daftar Pustaka
Rohiman
Notowidagd, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran dan Hadis ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada 1997) hal 24
Talago, “Pengertian dan Definisi Kebudayaan Lokal”, http://www.cpuik.com/2013/08/pengertian-dan-definisi-kebudayaan-lokal.html, diakses tanggal 30 April 2016.
Liliweri,
Alo, 2013. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS.
www.wajoterkini.com/2015/03/manre-dipulung-wujud-rasa-sukur-kepada.html
www.PortalBugis.com
ijin buat baca-baca
ReplyDeleteTerimakasih. Jadi rindu kampung halaman.
ReplyDelete